Minggu, 03 Oktober 2021

Pra Peradilan dan Permasalahannya




Catatan tentang Istilah, Biaya Perkara, Materi dan Acara Pemeriksaan  Praperadilan





A. Istilah 

Permasalahan pertama yang terlihat sepele tapi perlu digarisbawahi adalah mengenai penyebutan istilah untuk perkara Praperadilan. Dalam praktek istilah untuk menyebut perkara praperadilan bervariasi yakni ada yang menyebutnya Gugatan Praperadilan, Permohonan Praperadilan dan ada juga yang mengistilahkan Perkara Praperadilan saja. Istilah-istilah tersebut hidup dalam praktek oleh karena KUHAP tidak mengatur dengan jelas dan tegas mengenai hal tersebut.

Sebenarnya kalau kita melihat KUHAP, yakni dalam Bagian Kesatu Bab X tentang Praperadilan tidak ditemukan sama sekali istilah gugatan atau permohonan Praperadilan. Tetapi jika kita mencermati ketentuan dalam KUHAP maka akan diperoleh hal sebagai berikut :

    • Dalam Pasal 79, 80 dan 81 KUHAP terdapat kualifikasi kalimat “permintaan pemeriksaan Praperadilan dengan menyebutkan alasannya”. Dengan demikian bentuk perkara Praperadilan adalah permintaan pemeriksaan.
    • Dalam Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP terdapat kalimat ............... Hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang”. Dengan adanya kalimat tersangka atau pemohon maka konsekuensinya apa yang diminta oleh Pemohon tersebut haruslah berbentuk Permohonan.

Dari aturan yang tersirat dan tersurat dalam KUHAP tersebut ternyata dua bentuk penamaan perkara Praperadilan yakni “permintaan pemeriksaan Praperadilan dan permohonan Praperadilan”.

Berdasar hal di atas maka dapat dikatakan istilah “gugatan Praperadilan” merupakan hal yang tidak memiliki dasar hukum dalam KUHAP. Sehingga kalaupun terjadi, ada pihak yang mengajukan pemeriksaan perkara Praperadilan dalam suratnya menyatakannya sebagai gugatan, dalam putusan sebaiknya istilah tersebut dieleminir dan hanya digunakan istilah permintaan pemeriksaan Praperadilan atau permohonan Praperadilan.

Permasalahan kedua, adalah mengenai penyebutan para pihak dalam surat permintaan pemeriksaan Praperadilan atau permohonan Praperadilan.

Dalam praktek penyebutan istilah tersebut disesuaikan dengan penyebutan para pihak dalam surat yang menjadi dasar pemeriksaan Praperadilan itu sendiri. Sehingga biasanya Hakim dalam putusannya terikat dan mengikatkan dirinya sesuai surat yang menjadi dasar permintaan pemeriksaan Praperadilan. Kadang kala penyebutan para pihak tersebut tidak sesuai dengan judul surat dasar Praperadilan itu sendiri, misalnya suratnya dinamakan dengan gugatan Praperadilan tetapi para pihaknya dinamakan dengan Pemohon dan Termohon, dan bukan disebut sebagai Penggugat dan Tergugat.

KUHAP sendiri dalam aturan mengenai pihak yang dapat mengajukan permintaan pemeriksaan atau permohonan Praperadilan menujuk langsung pihaknya dengan nama materiilnya yakni :

    • tersangka, keluarga atau kuasanya (Pasal 79 KUHAP).
    • penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal 80 KUHAP).
    • tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal 81 KUHAP).

KUHAP terlihat memberikan nama formil untuk pihak materiil perkara Praperadilan khusus untuk tersangka yakni dengan sebutan Pemohon (vide Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP).

Sedangkan mengenai pihak yang menjadi lawan dari pihak yang mengajukan Praperadilan, dengan melihat cakupan perkara Praperadilan maka pihak tersebut adalah penyidik atau penuntut umum. Dan jika memperhatikan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP tersebut juga kualifikasi penamaan “pejabat yang berwenang”.

Dengan melihat istilah perkara Praperadilan yakni permintaan pemeriksaan atau permohonan praperilan dihubungkan dengan para pihaknya yang tersebut dalam KUHAP maka terdapat dua alternatif untuk menyebutnya, yakni :

    • Penyebutan pihak materiilnya (tersangka, keluarga, kuasanya, penyidik penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan dan pihak pejabat yang berwenang).
    • Pemohon atau termohon, atau kalau kita secara ketat menggunakan istilah permintaan pemeriksaan Praperadilan pihaknya adalah peminta dan terminta.

Akan tetapi dengan melihat keefektifan penyebutan dan kepraktisan dalam pengucapan dan didukung ada dasar hukumnya dalam KUHAP, para pihak tersebut dinamakan dengan Pemohon dan Termohon. Dan sekali lagi apabila ada penyebutan pihak dalam Praperadilan dalam bentuk lain sebaiknya Hakim dalam putusan mengeleminirnya dan menggunakan istilah Pemohon dan Termohon.


B. Biaya Perkara


Seiring tidak jelasnya kedudukan Praperadilan, apakah sebagai perkara pidana murni ataukah perkara pidana yang memiliki unsur perdata, berkorelasi dengan tidak jelasnya aturan mengenai siapa yang harus memberitahukan adanya perkara Praperadilan dan efek lanjutannya tentang biaya perkara.


Oleh karena penerimaan permintaan pemeriksaan atau permohonan Praperadilan prosedurnya hampir sama dengan penerimaan perkara perdata, maka pengadilanlah satu-satunya pihak yang memiliki kewenangan untuk memberitahukan dan memanggil para pihak dalam persidangan, hal inilah yang memberi corak perdata pada perkara Praperadilan karena dalam perkara pidana Penuntut Umumlah yang melaksanakan penetapan Hakim tentang pemanggilan dalam persidangan.

Dalam KUHAP tata cara pemanggilan para pihak dalam Praperadilan sama sekali tidak disinggung, sehingga munculnya jurusita untuk melaksanakan tugas tersebut sepertinya lahir dari analogi teknis perkara perdata.

Tetapi dilain pihak meskipun secara faktual juru sita melakukan pemanggilan akan tetapi dalam beberapa perkara Praperadilan terlihat biaya perkara yang dibebankan adalah biaya perkara pidana yakni berkisar antara Rp. 1.000,- sampai dengan Rp. 5.000,-. Pembebanan biaya perkara secara pidana tersebut akan menafikan biaya yang muncul dalam proses pra sidang, dalam hal ini biaya yang dikeluarkan untuk pemberitahuan hari sidang kepada Pemohon dan pemberitahuan adanya permintaan pemeriksaan atau permohonan perkara Praperadilan sekaligus pemberitahuan hari sidang pertama kepada Termohon.

Dari hal tersebut membawa implikasi dari mana biaya untuk melaksanakan pemberitahun / pemanggilan tersebut yang dilaksanakan oleh juru sita ?, dalam praktek muncul berbagai modifikasi yuridis yakni dengan meminta dari pihak pemohon, menggunakan dana kas pengadilan (c.q kepaniteraan pidana) bahkan penulis pernah mendapat informasi disalah satu PN biaya tersebut ditanggulangi oleh Hakim yang memeriksa perkara Praperadilan tersebut.

Permasalahan utama dan mendasar dengan pembebanan biaya perkara secara pidana adalah adanya penggunaan biaya tanpa dasar hukum. Apalagi dalam kasus tertentu apabila biaya pemanggilan/pemberitahuan hari sidang tersebut dimintakan kepada Pemohon atau para pihak kemudian dalam putusan biaya yang tercantum tidak menyebutkan biaya yang secara riil dikeluarkan, maka hal tersebut dapat menimbulkan persepsi dan prasangka pemungutan tersebut illegal.

Dengan demikian, sebaiknya demi transparansi dan lebih berwibawanya suatu putusan sebaiknya pembebanan biaya perkara Praperadilan dihitung secara perdata yakni dicantumkan secara terperinci biaya yang secara riil dikeluarkan (apabila lebih dikembalikan apabila kurang dimintakan kekurangannya). Atau sebagai bahan perbandingan besaran biaya perkara Praperadilan dibuat seperti dalam biaya perkara dalam sengketa Pilkada yakni disebutkan secara tegas (vide Pasal 3 ayat (6) PERMA No. 2 Tahun 2005 yakni sebesar Rp. 300.000,- untuk pemeriksaan di MA dan Rp. 200.000,- untuk pemeriksaan di PT), dimana tentunya besaran biaya Praperadilan tersebut dalam bingkai tidak memberatkan dan mempersulit pengajuan perkara.


C. Teknis/Acara Pemeriksaan


Acara pemeriksaan Praperadilan diatur dalam Pasal 82 KUHAP, dimana secara garis besarnya acaranya adalah :

    • Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, Hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang;
    • Hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang;
    • Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari Hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;

Terlihat secara nyata KUHAP mengamanatkan perkara Praperadilan diselesaikan dengan cepat (7 hari) sehingga acaranya dibuat secara sederhana sekali, tetapi dalam praktek acara pemeriksaan Praperadilan menjadi bertele- tele, oleh karena pemeriksaannya mengadopsi acara pemeriksaan perkara perdata yakni melalui tahap jawab jinawab (pembacaan permohonan, jawaban, replik, duplik), tahap pembuktian (pembuktian dari Pemohon dan Termohon), kesimpulan akhir. Padahal dalam perkara perdata murni acara tersebut terselesaikan dalam waktu hitungan bulan.

Sehingga ada beberapa perkara Praperadilan diputus tidak sesuai dengan amanat Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP yakni lebih dari tujuh hari. Jawaban klasik untuk membenarkan hal tersebut adalah keterlambatan itu tidak menyebabkan putusan batal demi hukum, hal tersebut ada benarnya oleh karena dalam KUHAP tidak dinyatakan apabila Hakim melanggar Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP menyebabkan putusan batal demi hukum.

Memang idealnya, kalau KUHAP menginginkan perkara Praperadilan selesai dalam 7 (tujuh) hari maka dalam KUHAP seharusnya diatur secara terperinci acara-acara pemeriksaan dari hari pertama sampai hari ketujuh secara ketat dan mengikat, dengan konsekuensi apabila pada hari yang ditentukan tersebut ada pihak yang lalai atau sengaja tidak hadir dan tidak menggunakan haknya maka dianggap melepaskan haknya.

Namunpun demikian, kemampuan Hakim dalam mengagendakan hari sidang disertai kesungguhan para pihak untuk menyelesaiankan perkara menjadi kunci terselesaikannya perkara sesuai amanat KUHAP. Dan yang menjadi pertanyaan penting adalah bagaimana cara mengefektifkan pemeriksaan tersebut, menurut penulis point utama pemeriksaan Praperadilan adalah “Hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang”. Mendengar yang efektif dikaitkan dengan pembuktian adalah mendengar dan memperhatikan alat bukti, sehingga Hakim harus memberikan porsi yang lebih dalam tahap pembuktian dan mengurangi tahap jawab jinawab secara tertulis dan bahkan tidak mewajibkan kesimpulan akhir.

Selanjutnya dalam acara pemeriksaan tersebut terdapat hal yang masih diperdebatkan yakni mengenai limit waktu penghitungan dari selambat- lambatnya tujuh hari Hakim harus sudah menjatuhkan putusannya. Yahya Harahap menyatakan penghitungan tersebut dihitung sejak tanggal penerimaan berkas di kepaniteraan, tetapi ada juga yang beranggapan 7 hari tersebut dihitung sejak penetapan hari sidang pertama.


D. Materi/Kewenangan

1. Alasan subjektif penahanan.

Secara normatif menurut KUHAP kewenangan Praperadilan adalah pemeriksaan mengenai :

    • sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan.
    • sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
    • permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

(vide Pasal 1 angka 10 jo Pasal 77)

    • benda yang disita termasuk alat pembuktian atau tidak (Vide Pasal 82 ayat  (1) huruf b jo ayat (3) huruf d KUHAP).

Dengan demikian, salah satu dasar permintaan Praperadilan adalah apabila terjadi penahanan secara tidak sah. KUHAP memberikan aturan untuk sahnya suatu penahanan harus dipenuhi syarat formil dan materill penahanan, dimana syarat materiil dibedakan dalam dua bentuk yakni :

    • Objektif, Dinamakan syarat obyektif karena syarat tersebut dapat diuji ada atau tidak oleh orang lain, yakni : Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap Tersangka tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih dan dalam hal Tersangka tindak pidana yang disebutkan secara limitatif dalam huruf b dari Pasal 21 ayat (4) KUHAP.
    • Subjektif, Dinamakan syarat subyektif karena hanya tergantung pada orang yang memerintahkan penahanan tadi, apakah syarat itu ada atau tidak, yakni : Tersangka tersebut telah diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dan adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa Tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana (Vide Pasal 21 ayat (1) KUHAP).

Mengenai rumusan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, Dr. Chairul Huda S.H., M.H. (Vide Putusan Mahkamah Konstitusi No. 018/PUU-IV/2006 tanggal 20 Desember 2006) menyatakan bahwa Pasal 21 Ayat (1) KUHAP hanya menentukan alasan subjektif untuk melakukan penahanan yaitu adanya “kekhawatiran bahwa Tersangka atau Terdakwa akan melarikan diri, mengulangi tindak pidana, atau merusak barang bukti”. Seharusnya anak kalimat “bukti yang cukup“ dalam Pasal a quo bukan hanya ditujukan terhadap tindak pidana, tetapi juga digunakan untuk menduga bahwa Terdakwa atau Tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan mengulangi perbuatan pidana.

Yang menjadi pertanyaan penting, dari syarat yang termuat dalam KUHAP tersebut di atas, hal mana yang menjadi syarat sahnya suatu penahanan, apakah semua syarat atau hanya beberapa syarat saja ?.

    • Andi Hamzah dalam bukunya Pengantar Hukum Acara Pidana (1990 : 131) menyatakan ketentuan tentang sahnya penahanan dicantumkan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP sedangkan perlunya penahanan dalam ayat (1) pasal itu.   Lebih lanjut ditegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP itu hanya mengenai perlunya penahanan bukan sahnya penahanan.
    • Ratna Nurul Afiah, dalam bukunya Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, (hal. 35 ) menyatakan dari uraian kedua syarat tersebut yang terpenting adalah syarat obyektif sebab penahanan hanya dapat dilakukan apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP itu dipenuhi. Sedangkan syarat yang terkandung dalam Pasal 21 ayat (1) biasanya dipergunakan untuk memperkuat syarat yang terkandung dalam Pasal 21 ayat (4) dan dalam hal-hal sebagai alasan mengapa tersangka dikenakan perpanjangan penahanan atau tetap ditahan sampai penahanan itu habis
    • Dalam Putusan Praperadilan No. 05/1982/Pra Perd/PN Surabaya tertanggal 13 Juli 1990, termuat pertimbangan bahwa syarat dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP bukanlah syarat mengenai keabsahan penahanan terhadap Tersangka melainkan suatu wewenang yang diberikan kepada Penyidik oleh KUHAP yang kesemuanya tersebut diserahkan kepada kebijaksanaan Penyidik untuk menilai keadaan diri Tersangka, kebijaksanaan mana tidak tunduk pada keabsahan penahanan Tersangka.

Berdasar hal-hal diatas maka dapat ditarik kesimpulan ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP yakni mengenai kekhawatiran Tersangka melarikan diri, merusak barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana, bukan syarat sahnya penahanan tetapi hanya merupakan alasan perlunya penahanan.

Akan tetapi menurut Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 018/PUU-IV/2006 tanggal 20 Desember 2006 menyatakan ketentuan dalam Pasal 21 Ayat (1) KUHAP merupakan dasar untuk menentukan rasionalitas penahanan dan lebih lanjut untuk menentukan sah tidaknya penahanan. Pertimbangan MK khusus mengenai hal tersebut adalah (hal 73 74) :

    • Menimbang bahwa dengan adanya Pasal 21 Ayat (1) dan Pasal 77 KUHAP, Mahkamah berpendapat, hal tersebut haruslah dimaknai sebagai usaha untuk memberi dasar hukum bagi penahanan sekaligus sebagai usaha untuk mengurangi penggunaan kewenangan yang berlebihan dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan penahanan. Meskipun sebagaimana telah dinyatakan oleh ahli Dr. Chairul Huda, S.H., M.H., bahwa Pasal 21 Ayat (1) KUHAP tidak mensyaratkan “adanya cukup bukti“ bagi kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa akan melarikan diri sebagai alasan penahanan, tetapi cukup karena adanya kekhawatiran dari penyidik atau penuntut umum bahwa terdakwa atau tersangka akan melarikan diri, merusak atau meghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Dengan demikian, menurut ahli, pertimbangan penahanan sangatlah subjektif;
    • Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon dan keterangan ahli di atas, Mahkamah berpendapat, bahwa penahanan oleh penyidik atau penuntut umum harus didasarkan atas pertimbangan yang cukup rasional dan tidak dengan serta merta saja dilakukan penahanan yang hanya didasari keinginan subjektif semata dari penyidik atau penuntut umum. Undang- undang sesuai dengan sifatnya memang sangatlah umum, meskipun telah diusahakan dengan sebaik mungkin perumusannya, namun masih saja terbuka peluang kelemahannya. Penerapan Pasal 21 Ayat (1) dan Pasal 77 KUHAP akan tergantung kepada aparat pelaksananya, yaitu penyidik, penuntut umum, dan Hakim dalam menerapkan ketentuan tersebut dalam rangka mencegah adanya kemungkinan pelanggaran hak asasi terdakwa. Perumusan yang terdapat dalam Pasal 21 Ayat (1) dan Pasal 77 KUHAP cukup menampung kebutuhan akan perlunya kepastian dan perlindungan bagi hak asasi manusia;
    • Menimbang bahwa menurut keterangan ahli Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H., Tim Pembaharuan KUHAP akan melakukan penyempurnaan dengan cara membentuk Hakim komisaris agar hak terdakwa atau tersangka lebih terlindungi. Adanya pranata Praperadilan (rechtsinstituut) yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP yang tujuannya untuk memeriksa sah tidaknya penahanan, seharusnya tidak hanya semata-mata menilai aspek formal atau administratif penahanan, tetapi juga aspek yang lebih dalam lagi yaitu rasionalitas perlu tidaknya dilakukan penahanan. Mahkamah berpendapat, ketiadaan frasa “berdasarkan bukti yang cukup“ untuk membuktikan adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan/atau mengulangi perbuatan pidana, sebagai alasan penahanan, tidak menutup pintu bagi Hakim Praperadilan untuk menilai rasionalitas penahanan, karena dalam Pasal 21 Ayat (1) KUHAP masih terdapat frasa “dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran“. Frasa ini dapat dijadikan dasar apakah memang ada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bagi penyidik atau penuntut untuk melakukan penahanan, dan apabila keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersebut ternyata sangat lemah maka Hakim Praperadilan dapat menyatakan bahwa penahanan tidak mempunyai rasionalitas dan oleh karenanya dapat dinyatakan tidak sah;

Dengan putusan MK tersebut memberikan bekal dan beban yuridis baru kepada Hakim untuk melihat syarat sahnya penahanan bukan hanya ketentuan Pasal 21 ayat (4) KUHAP saja (pandangan selama ini) tetapi juga termasuk di dalamnya Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Dengan menggunakan pola pikir MK maka Hakim dapat menilai rasionalitas alasan penahaan seorang tersangka pelaku tindak pidana, dan rasionalitas alasan penahanan tersebut termasuk syarat sahnya penahanan.

2. Pengertian “bukti yang cukup” dalam penangkapan dan penahanan.


Kewenangan pra peradilan salah satunya adalah untuk menentukan sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, dimana indikator yuridis untuk melakukan hal tersebut adalah :

    • Penangkapan dapat dilakukan terhadap Tersangka apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan Penyidikan (Vide Pasal 1 angka 20 KUHAP). Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Vide Pasal 17 KUHAP).
    • Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup (Vide Pasal 21 ayat 1 KUHAP).

Dengan demikian penangkapan/Penahanan dapat dilakukan kepada Tersangka/Terdakwa apabila terdapat cukup bukti dengan kata lain telah diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Sayangnya KUHAP dan Penjelasannya tidak mengatur lebih lanjut mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup, karenanya kemudian secara empirik timbul beberapa pendapat mengenai hal ini, antara lain: 

    • Berdasarkan SK No. Pol. SKEP/04/I/1982, Bukti permulaan yang cukup itu adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam dua di antara 1. Laporan Polisi.  2. Berita Acara Pemeriksaan di TKP. 3. Laporan Hasil Penyelidikan. 4. Keterangan saksi/saksi ahli dan 5. Barang Bukti. ; Yang setelah disimpulkan menunjukkan telah terjadi tindak pidana kejahatan. 
    • Menurut Rapat Kerja MAKEHJAPOL tanggal 21  Maret 1984, Bukti  permulaan yang cukup seyogyanya minimal : Laporan Polisi ditambah salah satu alat bukti lainnya. 
    • Menurut Drs. P. A. F Lamintang, SH., Bukti permulaan yang cukup dalam rumusan Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai bukti-bukti minimal, berupa alat-alat bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa Penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan Penyidikannya terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan.

Tetapi idealnya dengan melihat ketentuan Pasal 183 Jo. 184 KUHAP dan pendapat P.A.F Lamintang tersebut di atas, maka menurut penulis “cukup bukti” haruslah diartikan Tersangka telah diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam Pasal 184 KUHAP.

Dengan demikian Laporan Polisi belumlah terkualifikasi sebagai bukti yang sah, Laporan Polisi tersebut baru menjadi bukti yang sah apabila saksi pelapor tersebut telah diperiksa dan dimintai keterangannya sebagai saksi, dimana keterangan tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Saksi sehingga kualitasnya menjadi akan mengerucut menjadi Keterangan Saksi menurut Pasal 184 KUHAP. Hal ini harus diperhatikan dengan seksama karena menjadi kelaziman penyidik dalam menangkap tersangka hanya mendasarkan kepada Laporan Polisi semata yang belum di periksa secara formal dalam bentuk BAP.


E. PENUTUP


Beberapa catatan di atas merupakan pemikiran subjektif dari penulis, tetapi dari catatan tersebut minimal dapat ditarik benang merah dalam Praperadilan terdapat beberapa permasalahan.  Diharapkan kedepan lembaga praperadilan yang wacananya akan digantikan dengan lembaga Hakim Komisaris akan lebih tegas dan cermat pengaturannya sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang beragam atas isi aturannya yang pada akhirnya tidak menyulitkan dalam penerapannya.






Pra Peradilan dan Permasalahannya

Catatan tentang Istilah,  Biaya Perkara,  Materi dan Acara Pemeriksaan   Praperadilan A. Istilah  Permasalahan pertama yang terlihat se...