Kamis, 18 November 2010

KEJAHATAN PERSETUBUHAN MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA



Pemerkosaan dan Kejahatan Seksual
A.    Pemaksaan melakukan persetubuhan

Diperkosa, disetubuhi, direnggut kehormatannya, digagahi atau kata-kata lainnya sering tertulis dalam media massa untuk mengambarkan perbuatan keji berbentuk pemaksaan hubungan seksual.  Indonesia, dengan KUHP-nya yang berlaku sejak tahun 1918 telah mengkualifikasikan perbuatan pemaksaan hubungan seksual ini sebagai kejahatan dengan sebutan sebagai pemerkosaan, dan kejahatan ini termuat dalam Buku II Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan.
 Istilah yang digunakan dalam KUHP adalah "kejahatan terhadap kesusilaan", tidak menggunakan istilah kejahatan seksual (sexual violence) yang diartikan sebagai perbuatan pidana berkaitan dengan seksualitas yang dapat dilakukan terhadap laki-laki ataupun perempuan. Penggunaan istilah kesusilaan menyebabkan masyarakat terutama aparat hukum sering terjebak dalam menempatkan pasal-pasal kesusilaan semata-mata sebagai persoalan pelanggaran terhadap nilai-nilai budaya, norma agama, atau sopan santun yang berkaitan dengan nafsu perkelaminan (birahi), bukan kejahatan terhadap tubuh dan jiwa seseorang (Kalyanamedia Edisi I No.2 Juli 2004).
Kualifikasi pemerkosaan menurut Pasal 285 KUHP adalah :
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Dengan Pasal 291 ayat 2 KUHP) ancaman pidananya menjadi 15 tahun jika pemerkosaan tersebut mengakibatkan korbannya mati.
Dengan demikian pemerkosaan mensyaratkan :
  1. Dilakukan terhadap wanita, artinya pelakunya harus laki-laki, laki-laki yang bisa memperkosa wanita dan tidak bisa sebaliknya.
Pembuat Undang-Undang (KUHP) ternyata menganggap tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa untuk bersetubuh, bukanlah semata-mata oleh karena paksaan oleh seorang perempuan terhadap orang laki-laki itu dipandang tidak mungkin, akan tetapi justru karena perbuatan itu bagi laki-laki dipandang tidak mengakibatkan sesuatu yang buruk atau yang merugikan.  Bukanlah seorang perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak oleh karena itu (R. Soesilo : 1976 : 210).
  1. Adanya persetubuhan, yakni  adanya peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk ke dalam anggota perempuan, sehingga mengeluarkan air mani, sesuai dengan Arrest HR 5 Februari 1912 (R. Soesilo, 1976 : 181).  Persetubuhan mana HARUS dilakukan di luar perkawinan, jadi tidak dimungkinkan adanya pemerkosaan isteri oleh suami.
Pasal tentang perkosaan (pasal 285) menerangkan bentuk perkosaan terbatas pada persetubuhan atau penetrasi penis ke dalam vagina perempuan secara paksa, belum termasuk benda-benda lain selain penis yang dimasukkan secara paksa ke dalam vagina atau bagian tubuh perempuan lainnya serta perlakuan menggesek-gesekkan penis ke bibir kelamin perempuan di luar kehendak perempuan (Kalyanamedia, 2004).
  1. Persetubuhan dilakukan dengan memaksa baik dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Kejahatan pemerkosaan di atas mensyaratkan adanya pemaksaan dari pelaku terhadap korbannya, pemaksaan mana dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, artinya jika persetubuhan tersebut dilakukan atas persetujuan dari korban (baca : suka sama suka) bukanlah suatu pemerkosaan. 
B.     Persetubuhan tanpa pemaksaan
Tetapi, terkadang hal ini luput dari perhatian masyarakat, KUHP juga mengenal kejahatan persetubuhan yang tidak mensyaratkan adanya pemaksaan dari pelaku terhadap korbannya, yakni dalam bentuk :
1.      Persetubuhan diluar perkawinan terhadap wanita dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam pidana penjara paling lama 9 tahun (vide Pasal 286 KUHP).   
Syarat mutlaknya adalah keadaan korban yang pingsan atau tidak berdaya ini bukan karena perbuatan pelaku, misalnya korban tidak berdaya karena ulahnya sendiri contoh karena minum minuman keras, dan pelaku kemudian menyetubuhi korban tersebut.  Jikalau korban pingsan karena perbuatan pelaku maka masuk kejahatan pemerkosaan (Pasal 285 KUHP) karena menurut pasal 89 KUHP, membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan (vide Pasal 89).
2.      Persetubuhan diluar perkawinan terhadap wanita yang umurnya belum 15 tahun, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun (vide Pasal 287 ayat 1 KUHP).
-          Jika persetubuhan mengakibatkan wanitanya luka-luka berat,  dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 tahun (Pasal 291 ayat 1 KUHP).
Luka berat adalah yang luka yang terkualifikasi dalam Pasal 90 KUHP yakni : Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut; Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian; Kehilangan salah satu pancaindera; Mendapat cacat berat; Menderita sakit lumpuh; Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih; dan Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
-          Jika persetubuhan mengakibatkan wanitanya mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun (Pasal 291 ayat 2 KUHP).
Persetubuhan terhadap wanita pingsan/tidak berdaya dan terhadap wanita belum cukup umur di atas disyaratkan dilakukan DILUAR PERKWAINAN artinya pelaku dan korban tidak terikat dalam suatu perkawinan, pelaku dan korban bukan suami isteri.  Artinya :
-          Pertama : bukanlah merupakan kejahatan jika suami menyetubuhi istrinya yang sedang pingsan/tidak berdaya ;
-          Kedua :  bukanlah merupakan kejahatan jika suami menyetubuhi isterinya yang belum berumur 15 tahun ;
Tetapi, jangan salah, KUHP tetap mengancam pidana terhadap suami yang menyetubuhi isterinya yang belum berumur 15 tahun asal dipenuhi syarat yakni seperti yang tersebut dalam Pasal 288 KUHP yakni
(1)      Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus didugunya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
(2)      Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama 8 tahun.
(3)      Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 tahun.
Artinya KUHP menganggap merupakan suatu kejahatan jika suami menyetubuhi isterinya yang belum berumur 15 tahun jika persetubuhan itu mengakibatkan :
-          Istrinya yang masih muda tersebut mengalami luka ; Luka apabila terdapat perubahan dalam bentuk badan manusia yang berlainan dari pada bentuk semula (Moch Anwar, 1989 : 103).  Luka misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau (R. Soesilo, 1976 : 210). 
-          Istrinya yang masih muda tersebut mengalami luka berat ; (lihat Pasal 90 KUHP).
-          Istrinya yang masih muda tersebut mati.
Ketentuan pidana inilah yang kemudian menjadi rasio lahirnya batas minimal usia perkawinan bagi calon mempelai wanita dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni 16 tahun.  Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan  Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
C.     Bentuk baru dari kejahatan Persetubuhan
Dengan berlakunya UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002) maka persetubuhan terhadap anak yakni seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun (vide Pasal 1  angka 1) mendapat pengaturan lebih khusus yakni dalam Pasal 81 dinyatakan :
(1)         Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2)         Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Hal yang maju dari ketentuan Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2) adalah adanya kualifikasi “orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain” DISAMAKAN dengan “orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan”.  Dengan demikian menurut UU No. 23 Tahun 2002, apabila korban adalah anak di bawah umur maka persetubuhan yang dilakukan dengan cara tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk dikonstruksikan sama dengan persetubuhan yang dilakukan dengan memaksa.
Selanjutnya aturan baru mengenai kejahatan persetubuhan juga termuat dalam UU No. 23  Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT),  UU ini secara khusus berlaku dan diberlakukan bagi orang dalam lingkup rumah tangga.  Salah satu jenis kejahatan dalam rumah tangga adalah kekerasan seksual, Pasal 5 huruf c UU PKDRT dilarang setiap orang melakukan kekerasan seksual yakni meliputi a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Vide Pasal 8). 
Pertanyaan pertama yang muncul dari pengertian kekerasan seksual menurut UU PKDRT adalah kualifikasi dari “hubungan seksual”, karena istilah tersebut belum dikenal dalam aturan hukum pidana, KUHP dan UU lainnya misalnya UU No. 23 Tahun 2002, menggunakan kualifikasi “persetubuhan dan pencabulan”.
Menurut hasil penelitian LBH APIK Jakarta (www.lbhapik.or.id/maritalrape.htm), beberapa variasi kasus pemaksaan “hubungan seksual” yang kerap terjadi menurut hasil penelitian maupun kasus-kasus yang pernah ditangani oleh LBH APIK Jakarta :
1.      Pemaksaan hubungan seksual sesuai selera seksual suami. Istri dipaksa melakukan anal seks (memasukkan penis ke dalam anus), oral seks (memasukkan penis ke dalam mulut) dan bentuk-bentuk hubungan seksual lainnya yang tidak dikehendaki istri.
2.      Pemaksaan hubungan seksual saat istri tertidur.
3.      Pemaksaan hubungan seksual berkali-kali dalam satu waktu yang sama sementara istri tidak menyanggupinya.
4.      Pemaksaan hubungan seksual oleh suami yang sedang mabuk atau menggunakan obat perangsang untuk memperpanjang hubungan intim tanpa persetujuan bersama dan istri tidak menginginkannya.
5.      Memaksa istri mengeluarkan suara rintihan untuk menambah gairah seksual.
6.      Pemaksaan hubungan seksual saat istri sedang haid/menstruasi.
7.      Pemaksaan hubungan seksual dengan menggunakan kekerasan psikis seperti mengeluarkan ancaman serta caci maki.
8.      Melakukan kekerasan fisik atau hal-hal yang menyakiti fisik istri seperti memasukkan benda-benda ke dalam vagina istri, mengoleskan balsem ke vagina istri, menggunting rambut kemaluan istri dan bentuk kekerasan fisik lainnya.
Tetapi sayangnya pengertian dan batasan “hubungan seksual” tersebut tidak secara normatif diatur dalam UU PKDRT, seharusnya disadari oleh pembuat UU PKDRT apabila menggunakan istilah dan konstruksi hukum yang baru (in casu hubungan seksual) haruslah diberikan pengertian dan batasan normatif yang jelas, sehingga tidak terjadi pereduksian maupun perluasan pengertian yang pada akhirnya menuju kepada ketidakpastian hukum. 
Selanjutnya larangan melakukan kekerasan seksual dalam Pasal 5 huruf c jo Pasal 8 UU PKDRT diancam dengan pidana dalam Pasal 46, Pasal 47 dan Pasal 48.  Dengan melihat pasal-pasal tersebut di atas, maka kekerasan seksual dibedakan lagi dalam 3 (tiga) bentuk  yakni :
1.      Pemaksaan hubungan seksual
Dilihat dari rumusan Pasal 46 jo Pasal 8 UU PKDRT, maka untuk terbuktinya pasal ini harus dipenuhi unsur- unsur :
a.       Setiap orang.
b.      yang melakukan perbuatan kekerasan seksual.
c.       terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Hal yang baru yang dianut UU PKDRT dibandingkan KUHP, yakni dengan dikenalnya kekerasan seksual terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga maka dimungkinkan adanya kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami kepada isteri dan sebaliknya yakni kekerasan seksual yang dilakukan oleh isteri (perempuan) kepada suami (laki-laki).
Dengan demikian terjadi pergeseran yang besar atas konstruksi “perkosaan” selama ini, karena perkosaan menurut Pasal 285 KUHP hanya dapat dilakukan oleh laki-laki terhadap wanita dan perkosaan inipun harus terjadi di luar perkawinan, jadi tidak dikenal perkosaan dalam perkawinan c.q suami kepada isteri dan juga tidak dimungkinkan adanya perkosaan oleh perempuan kepada laki-laki.
Dalam KUHP yang diancam dengan “perkosaan” hanya laki-laki dan perempuan tidaklah terkualifikasi sebagai orang yang dapat menjadi subyek tindak pidana perkosaan.   Dengan demikian, entah pertimbangan apa dari pembuat UU PKDRT yang memungkinkan laki-laki “diperkosa” perempuan, dan sampai saat ini sepertinya belum ada kasus perempuan memaksa melakukan hubungan seksual (memperkosa) laki-laki.
2.      Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu
Dilihat dari rumusan Pasal 47 UU PKDRT, maka untuk terbuktinya pasal ini harus dipenuhi unsur-unsur :
a.       Setiap orang.
b.      yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya.
c.       melakukan hubungan seksual dengan orang lain
d.      untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Hal yang dilarang dalam pasal ini adalah “memaksa orang melakukan hubungan seksual dengan orang lain karena tujuan komersial atau tujuan tertentu”.  Pengertian komersial mudah diterjemahkan yakni pemaksaan hubungan seksual tersebut diperjual belikan dan dilakukan untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi, misalnya memaksa isteri atau korban menjadi PSK (pekerja seks komersial).   Tetapi “untuk tujuan tertentu” hal ini tidak ada penjelasan.  Sehingga frasa “untuk tujuan tertentu” akan hidup dan berjiwa dalam praktek, mungkin contoh yang klasik untuk tujuan tertentu misalnya ayah menjual keperawanan anaknya kepada orang lain supaya hutangnya dianggap lunas.
Unsur pemaksaan menjadi sangat penting untuk tindak pidana jenis ini, dengan tidak adanya “pemaksaan” untuk melakukan hubungan seksual dengan orang lain maka hal tersebut menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan.  Yurisprudensi yang bisa menunjukkan hal ini yakni  Arrest HR tanggal 16 Mei 1948 yang menyatakan mengadakan hubungan kelamin dengan orang lain bukan merupakan zina apabila telah ada persetujuan dari pihak suami atau isteri.  Perbuatan itu bukan merupakan pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan,  Dalam kasus ini seorang laki-laki sebagai calo telah menjadikan isterinya seorang wanita tuna susila yang dengan demikian membenarkan cara hidup istrinya tanpa syarat apapun (Soenarto Soerodibroto, 1994 : 171).
3.      Pemaksaan hubungan seksual dengan pemberatan
Dilihat dari rumusan Pasal 48 UU PKDRT, maka untuk terbuktinya pasal ini harus dipenuhi unsur-unsur :
a.       Setiap orang.
b.      -  yang melakukan perbuatan kekerasan seksual terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, ATAU
-          yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual.
c.       yang mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi.
D.    DAFTAR BACAAN
-          Guse Prayudi, Berbagai aspek tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (dilengkapi dengan uraian unsur-unsur Tindak pidananya), Penerbit Merkid Press, Yogyakarta, 2008;
-          Moch. Anwar.  Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP buku II) jilid 1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989.
-          ________.  Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP buku II) jilid 2, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989.
-          Soesilo,  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lengkap, Politea, Bogor, 1976.
-          Perkembangan RUU Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga, Kalyanamedia Edisi I No. 2 Juli 2004 (www.kalyanamitra.or.id.)
-          Maritalrape.htm (www.lbhapik.or.id).
-          Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
-          Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
-          Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
-          Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pra Peradilan dan Permasalahannya

Catatan tentang Istilah,  Biaya Perkara,  Materi dan Acara Pemeriksaan   Praperadilan A. Istilah  Permasalahan pertama yang terlihat se...