Kamis, 18 November 2010

KONSTRUKSI PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM


court of appeals for veterans claims law

A.    PERBEDAAN KONSTRUKSI
KUHAP mengatur putusan “akhir” dalam perkara pidana terbagi dalam 2 (dua) bentuk yakni putusan pemidanaan dan putusan bukan pemidanaan.  Jenis dari putusan bukan pemidanaan adalah Putusan bebas (vrijspraak) dan Putusan lepas dari tuntutan hukum (ontslag) (Vide Pasal 1 angka 11 jis Pasal 194 ayat (1), Pasal 199 ayat (1) huruf b, Pasal 222 ayat (1) KUHAP).
Terdakwa diputus bebas jika Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).
Sedangkan terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat 2 KUHAP)
Menjadi hal yang relatif mudah untuk membuat dan mengkonstruksikan putusan bebas, syaratnya menurut KUHAP adalah “kesalahan” terdakwa atas perbuatan  yang didakwaakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.  Meskipun kualifikasi “kesalahan” menurut para ahli kurang pas masuk dalam pensyaratan putusan bebas, akan tetapi dalam praktek hal tersebut mudah dibaca yakni dalam  bentuk salah satu unsur dari dakwaan tidak terbukti.  Artinya jika ada fakta-fakta dipersidangan yang sah dan meyakinkan dapat menyebabkan salah satu unsur dari tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti maka putusan bebas adalah hasilnya.
Sedangkan untuk penerapan putusan ontslag, relatif lebih rumit, KUHAP hanya memberikan pengaturan syaratnya yakni :
-          Pertama : Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti,
-          Kedua : tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana,
Syarat pertama jika ditafsirkan secara gramatikal menggariskan Hakim agar mempertimbangkan seluruh unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, artinya seperti dalam putusan perkara pemidanaan maupun putusan bebas, seluruh unsur-unsur tindak pidananya harus diuraikan secara jelas dimana letak “keterbuktiannya”, dimana perbedaannya jika dalam putusan pemidanaan dan bebas keterbuktiannya harus  “secara sah dan meyakinkan” tetapi dalam putusan ontslag syarat keterbuktiannya tidak ada embel-embel “secara sah dan meyakinkan”.  Apakah ada maksud pembuat KUHAP membedakan hal tersebut? Atakukah konstruksi “terbukti secara sah dan meyakinkan” (putusan pemidanaan) dengan “terbukti” (putusan ontslag) adalah sama ?
Sedangkan syarat kedua merupakan norma pembeda dengan bentuk putusan lainnya yakni perbuatan yang terbukti tersebut bukan merupakan tindak pidana, artinya ada hal-hal yang dapat menyebabkan perbuatan tersebut hilang “ketindak pidanaannya”.
Pertanyaannya apakah “hal-hal” tersebut ? dan bagaimana mengkonstruksikan dan menyusun “hal-hal” tersebut dalam pembuatan putusan ontslag?
B.     HAL-HAL YANG DAPAT MELEPASKAN SEGALA TUNTUTAN HUKUM
Karena KUHAP merupakan aturan formil, maka tidak akan ditemukan satupun clue mengenai hal-hal materiil yang dapat menjadikan suatu perbuatan yang terbukti tidak menjadi tindak pidana lagi.  KUHP sebagai aturan materiil mengenal hal-hal yang dapat menghapuskan pidana dalam bentuk :
1.      Apabila pelaku tindak pidana tersebut jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit.
Di atur dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP yang menyatakan “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.
2.      Apabila melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa.
Diatur dalam Pasal 48 KUHP yang menyatakan “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”. 
3.      Apabila melakukan tindak pidana karena melakukan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain.
Diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP : “Barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum, tidak dipidana”.
4.      Apabila melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu.
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu (Pasal 49 ayat 2 KUHP).  Jadi syaratnya adalah Kelampauan batas pembelaan yang diperlukan, Pembelaan yang dilakukan sebagai akibat langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat, Kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan tersebut.
5.      Apabila melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang.
Diatur dalam Pasal 50 KUHP yang menyatakan “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”. 
Putusan MA No 23 PK / Pid / 2001 yang dimaksud dengan “Undang-Undang” dalam Pasal 50 KUHP, Mahkamah berpendapat pada hal-hal sebagai berikut :
a.       bahwa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah setiap peraturan yang dibuat oleh kekuasaan yang berwenang untuk itu menurut Undang-Undang, jadi setiap peraturan baik itu berasal langsung dari pembentuk Undang-Undang maupun dari kekuasaan yang lebih rendah, yang kekuasaannya untuk membuat peraturan bersumber pada Undang-Undang. Demikian pendapa Hoge Raad (26 Juni 1899 W.7307) (vide Drs.P.A.F. Lamintang, SH. C. Djisman Samoser, SH. Hukum Pidana Indonesia Cet.I halaman 32) ;
b.      bahwa Peraturan Daerah berada pada urutan 7 Tata Urutan perundangundangan Republik Indonesia berdasarkan Pasal 2 Ketetapan MPR.RI. No.III / MPR / 2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan ;
6.      Apabila melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang
Diatur dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP yang menyatakan “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.
7.      Apabila dengan itikad baik melakukan perbuatan untuk melakukan perintah jabatan yang tidak sah.
Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya (Pasal 51 ayat 2 KUHP). 
Dimana hal-hal di atas terkonstruksikan secara teoritis menjadi alasan pembenar dan alasan pemaaf :
1.      Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa.  Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan tindak pidana, tetapi dia tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.  Alasan pemaaf  yang terdapat dalam KUHP ialah Pasal 44, Pasal 51 ayat 2, dan Pasal 48 yang ada kemungkinan merupakan alasan  pembenar dan dapat pula merupakan alasan pemaaf.
2.      Alasan pembenar yaitu alasan yang menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan.  Perbuatan yang dilakukan tidak bersifat melawan hukum sehingga bukan merupakan tindak pidana.  Alasan pembenar dalam KUHP adalah Pasal 49 (pembelaan terpaksa), Pasal 50 (menjalankan perintah undang-undang).
Pertanyaannya adalah : Apakah hal-hal yang dapat menghapuskan pidana (KUHP), alasan pembenar dan alasan pemaaf ini (teoritis) di atas merupakah hal yang dimaksud oleh Pasal 191 ayat 2 KUHAP sebagai hal yang dapat mengakibatkan suatu perbuatan yang terbukti tidak lagi merupakan suatu tindak pidana??
Jika kita ketat menggunakan konstruksi/pengertian dari alasan pemaaf maupun alasan pembenar, maka terlihat “alasan pemaaf” tidaklah masuk kategori pasal 192 ayat 1 KUHAP karena :
1.      Pasal 191 ayat 2 mensyaratkan perbuatan tersebut tidak lagi merupakan suatu tindak pidana, sedangkan ;
2.      Alasan pemaaf, mengkonsepsikan perbuatan tersebut tetap dinamakan sebagai tindak pidana, tetapi orangnya tidak patut dipidana.
Apakah konstruksi ini yang diinginkan oleh KUHAP, hanya alasan pembenar-lah yang sesuai dengan konstruksi Pasal 191 ayat 2 ???  Jika Hakim berpandangan kaku maka nyata hal ini yang dimaksud KUHAP karena keduanya memberikan implikasi perbuatan yang terbukti tersebut bukan lagi TINDAK PIDANA, sedangkan dalam alasan pemaaf perbuatan yang terbukti tersebut tetap merupakan TINDAK PIDANA.
Jika alasan pemaaf tidak termasuk kualifikasi pasal 192 ayat 2? Bagaimana bentuk putusannya jika terdakwa melakukan tindak pidana tetapi dimaafkan untuk tidak dijatuhi pidana ? ..putusan bebas murni ? ..tentunya tidak ..satu-satunya bentuk putusan tersebut adalah putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Karenanya ini mungkin kelemahan isi aturan Pasal 192 ayat 2 KUHAP, yang tidak mengcover alasan pemaaf masuk dalam kosntruksinya, sebaiknya menurut Penulis pasal 192 ayat 2 berbentuk :
Sedangkan terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana (alasan pembenar) atau terdakwa tidak mempunyai kesalahan atas perbuatan yang terbutki tersebut (alasan pemaaf).
Hal inilah yang menjadi rasio pendapat dari Andi Hamzah (1983 : 265) bahwa dibelakang kata “tetapi” pada pasal 191 ayat (2) KUHAP tersebut tertulis “ ... perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa.  Terdakwa tidak bersalah (sengaja atau kulpa) atau tidak melawan hukum atau ada alasam pemaaf (faits d’excuse).
Oleh karena Hukum Pidana Indonesia menganut asas sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif yakni mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar Undang-undang menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, artinya diluar undang-undangpun terdapat alasan penghapus pidana misalnya :
  1. Hak dari orang tua, guru untuk menertibkan anak-anak atau anak didiknya.
  2. Hak yang timbul dari pekerjaan seorang dokter, apoteker, bidan.
  3. Ijin atau persetujuan dari orang yang dirugikan kepada orang lain mengenai suatu perbuatan yang dapat dipidana apabila dilakukan tanpa ijin atau persetujuan.
  4. Mewakili urusan orang lain.
  5. Tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang materiil.
  6. Tidak ada kesalahan sama sekali (Sudarto, 1990 : 66)
Selanjutnya dalam praktek peradilan dikenal alasan suatu perbuatan tidak menjadi tindak pidana, yakni :
1.       Perbuatan tersebut masuk dalam ruang lingkup perdata;
Putusan MA No. 645 K/Pid/1982, perbuatan yang didakwakan dalam dakwaan terbukti, akan tetapi bukan merupakan kejahatan ataupun pelanggaran sebab apa yang didakwakan adalah hubungan usaha dimana saksi memberi modal kepada terdakwa yang termasuk bidang perdata.  Penggunaan modal tersebut oleh terdakwa bukanlah sebagai penggelapan (Yahya Hararap : 2006 : 353)
2.       Perbuatan tersebut masuk dalam ruang lingkup hukum administrasi negara/Hukum Tata Negara ;
3.       Dakwaan atau tuntutan penuntut umum masih premature, tapi biasanya alasan ini terkait dengan alasan pertama dan kedua di atas dan ada juga yang berpandangan alasan ini terkualifikasi sebagai hal yang dapat menyebabkan dakwaan tidak dapat diterima.
4.       Peraturan yang menjadi landasan hukum dakwaan Penuntut Umum kepada terdakwa sudah tidak ada lagi.
Putusan MA No. 1158 K/PID/2007, Putusan MA No. 19 PK/Pid.Sus/2008, Putusan MA No. 20 PK/Pid.Sus/2008,  Bahwa dengan dibatalkannya Peraturan Pemerintah No. 110 Tahun 2000 maka landasan hukum dakwaan Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa sudah tidak ada lagi, sehingga Terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechts vervolging)
5.       Adanya peraturan yang dibuat kemudian yang mendukung / membenarkan perbuatan pelaku.
Putusan MA No.: 23 PK / Pid / 2001, Terpidana dalam melaksanakan Perda No.2 tahun 1998, termasuk pemberian bantuan mobilitas kepada anggota DPRD, yang kemudian mendapat dukungan / pembenaran dengan adanya surat Menteri Dalam Negeri tanggal 16 September 1999 No.024 /27289 / PUOD dan Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat tanggal 29 Juni 2000 No.903-217-2000, adalah merupakan perbuatan untuk melaksanakan, ketentuan Undang-Undang sebagaimana ditentukan oleh Pasal 50 KUHP, oleh karena itu ia tidak dapat dipidana ;
Hal janggal termuat dalam Putusan putusan MA No. 3 PK/Pid/1982, mengenai alasan suatu perbuatan bukan tindak pidana lagi yakni Perbuatan yang didakwakan terbukti dengan sah dan meyakinkan akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan maupun pelanggaran, terdakwa terbukti membuat surat palsu akan tetapi surat palsu tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai bukti dalam perkara perdata No. 14/1976, sehingga dengan demikian perbuatan terdakwa yang telah terbukti itu bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran pidana.
Kejanggalannya karena disatu sisi terdakwa terbukti membuat surat palsu (vide pasal 263 ayat 1 KUHP) tapi disisi lain MA menyatakan salah satu unsur tindak pidana membuat palsu tidak terpenuhi yakni “dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu “ dengan adanya fakta terdakwa tidak mempergunakan surat palsu tersebut, kejanggalannya adalah jika ada salah satu unsur tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti, bukannya harus diputus bebas bukan ontslag ?
C.     PENERAPAN HAL YANG DAPAT MELEPASKAN SEGALA TUNTUTAN DALAM PUTUSAN.
Seperti tersebut di atas syarat pertama Putusan lepas dari segala tuntutan hukum menurut Pasal 191 ayat 2 KUHAP adalah Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, sehingga Hakim harus mempertimbangkan seluruh unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan.
PENERAPAN DALAM ADANYA ALASAN PEMBENAR
Keklopan antara alasan pembenar dengan isi aturan Pasal 191 ayat 2 KUHAP adalah keduanya memberikan kualifikasi perbuatan yang terbukti tidak menjadi tindak pidana lagi.
Misalnya ada kasus polisi yang bertugas menjadi regu tembak menembak mati seorang terpidana, atas perbuatannya tersebut polisi tersebut  di jadikan Terdakwa kasus pembunuhan berencana (340 KUHP), maka dalam Putusannanya hakim harus mempertimbangkan keterbuktian unsur-unsur tindak pidana, yakni
1.      Barang Siapa ;
2.      dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain
Setelah menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan maka selanjutnya hakim mempertimbangkan tentang hal-hal yang menjadikan perbuatan tersebut tidak lagi menjadi sutau tindak pidana, contoh sederhana :
Menimbang, bahwa Pasal 50 KUHP mengatur bahwa “Barang siapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”.  Dimana aturan ini merupakan alasan yang menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan.  Perbuatan yang dilakukan tidak bersifat melawan hukum sehingga bukan merupakan tindak pidana.
Menimbang, bahwa dengan demikian perbuatan terdakwa yang menghilangkan nyawa korban secara berencana adalah dalam kualifikasi menjalankan ketentuan Undang-Undang, perbuatan terdakwa tersebut menjadi hal yang dibenarkan oleh hukum sehingga perbuatannya tersebut tidak lagi merupakan suatu tindak pidana.
Menimbang, bahwa karenanya nyata meskipun perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa   terbukti akan tetapi perbuatannya tersebut bukanlah merupakan suatu tindak pidana.
Menimbang, bahwa sesuai dengan aturan Pasal 191 ayat (2) KUHP terdkawa haruslah dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
PENERAPAN DALAM ADANYA ALASAN PEMAAF.
Misalnya ada kasus orang gila membunuh orang, atas perbuatannya tersebut orang gila di jadikan Terdakwa kasus pembunuhan (Pasal 338 KUHP), maka dalam Putusannanya hakim harus mempertimbangkan keterbuktian unsur-unsur tindak pidananya, kesulitan penerapannya adalah :
1.       Dalam mempertimbangkan unsur barang siapa, bagi Hakim yang berpandangan unsur barang siapa adalah unsur tindak pidana sehingga harus dibuktikan maka ketika mempertimbangkan unsur ini dipastikan akan terganggal dengan kualifikasi “mampu bertanggung jawab”, dipastikan “orang gila” tersebut tidak mempunyai kemampuan bertanggung jawab sehingga unsur barang siapa tidak terpenuhi, artinya Hhakim tidak dapat mempertimbangkan perbuatan materiil perbuatan terdakwa (menghilangkan nyawa orang lain) karena unsur pertama pembunuhan sudah tidak terbukti.  Padahal KUHAP mensyaratkan harus ada pernyataan perbuatan tersebut terbukti artinya harus ada pertimbangkan mengenai perbuatan materiilnya, karenanya menurut Penulis ada penyelesaiannya dalam dua bentuk yakni  :
a.       Unsur barang siapa tidak dipertimbangkan dengan pandangan “barang siapa” tidak termasuk unsur-unsur tindak pidana.
b.      Dalam mengartikan Unsur “barang siapa” didalamnya tidak dimuat mengenai kemampuan bertanggung jawab, misalnya Menimbang, bahwa unsur “barang siapa” menunjuk subjek tindak pidana, dimana pada dasarnya menurut ketentuan KUHP yang merupakan subjek tindak pidana adalah manusia (naturlijke persoonen), hal ini ternyata dalam memori penjelasan (MvT) Pasal 59 KUHP bahwa “suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia” ;
Dengan demikian “gilanya” terdakwa yang berkorelasi dengan kemampuan bertanggung jawab tidak akan disinggung dalam unsur tersebut dan oleh karena “orang gila” tersebut terkualifikasi sebagai manusia juga maka unsur barang siapa terbukti.
2.       Pernyataan tentang perbuatan terdakwa tidak lagi merupakan suatu tindak pidana.
Konkritnya : jika menurut alasan pemaaf perbuatan terdakwa yang gila tersebut tetap merupakan suatu tindak pidana pembunuhan akan tetapi perbuatan terdakwa tersebut dimaafkan sehingga tidak perlu dipidana karena dianggap terdakwa tidak ada kesalahan.  Sedangkan 191 ayat 2 KUHAP mensyaratkan perbuatan terdakwa tersebut dinyatakan tetap sebagai suatu tindak pidana.  Jelas ada perbedaan yang tajam antara keduanya. 
Oleh karena tidak dimungkinkan alasan pemaaf menjadikan putusan bebas, maka mau tidak mau hakim harus menggiring putusannya ke arah putusan ontslag, artinya mau tidak mau Hakim harus mengkonstektualkan isi ketentuan Pasal 191 ayat 2 KUHAP didalamnya termasuk terdakwa tidak mempunyai kesalahan atas perbuatan yang terbukti tersebut (alasan pemaaf).
Penyelesaiannya menurut Penulis, Hakim dalam putusannya “harus terbuka” mengenai adanya “jurang” tersebut dalam kerangka untuk memberikan pertimbangan yang intergral sebaiknya Hakim harus mempertimbangkan jurang pemisah antara konsepsi teoritis alasan pemaaf dengan isi aturan Pasal 191 ayat 2 KUHAP sebelum penerapan fakta persidangannya.
Dan kuncinya dengan pertimbangan :“Menimbang, bahwa dengan dimaafkannya perbuatan terdakwa karena hukum menggangap terdakwa tidak memiliki kesalahan dalam melakuan perbuatan menghilangkan nyawa korban, maka atasnya terdakwa tidaklah patut lagi untuk dijatuhi pidana, sehingga perbuatan terdakwa dari segi hukum acara haruslah dipandang bukan lagi sebagai suatu tindak pidana lagi.
Menimbang, bahwa karenanya nyata meskipun perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa   terbukti akan tetapi perbuatannya tersebut dari segi hukum acara pidana bukanlah merupakan suatu tindak pidana.
D.    PENUTUP
Selain isi aturan dan pendapat para ahli, hal-hal di atas terutama mengenai analisa merupakan pendapat subjektif penulis yang kebenarannya masih sangat terbuka untuk diperdebatkan. 
E.     DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi), Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.
Guse Prayudi,  Seluk Beluk Hukum Pidana,  Penerbit Boyabook, Jakarta, 2008.
Yahya Harahap,  Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
Soedarto, Hukum Pidana Jilid IB, Penerbit Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 1990.
Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Rajawali Pers, Jakarta, 1994.
http : Putusan.net


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pra Peradilan dan Permasalahannya

Catatan tentang Istilah,  Biaya Perkara,  Materi dan Acara Pemeriksaan   Praperadilan A. Istilah  Permasalahan pertama yang terlihat se...