Langsung ke konten utama

PERBUATAN BERLANJUT (VOORTGEZETTE HANDELING) (Suatu Bentuk Khusus Tindak Pidana atau Straftoemating Semata ?)



Overzichtsarrest eendaadse samenloop en voortgezette handeling
A.    Pendahuluan
Dalam putusan Mahkamah Agung No. 995 K/Pid/2006 dan No. 996 K/Pid/2006 (Majalah Varia Peradilan Tahun ke XXI No. 250 September 2006) tercantum amar putusan terhadap masing-masing Terdakwa Prof. Dr. NS dan Terdakwa HA tersebut di atas terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana :
1.      KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA.
2.      KORUPSI YANG MERUPAKAN BEBERAPA PERBUATAN YANG DIPANDANG SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT.
Sebelumnya juga Mahkamah Agung dalam Putusan No. 02.K/Pid/1995 yakni dalam kasus The Gandhi Memorial School memutuskan antara lain Menyatakan terdakwa R terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : Menyuruh memasukan keterangan palsu kedalam Akta Autentik yang dilakukan secara  berlanjut (voortgezette handeling) eks Pasal 266 ayat (1) tentang menyuruh memasukan keterangan palsu ke dalam suatu akta autentik jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP tentang perbuatan berlanjut.
Dari beberapa putusan tersebut terdapat hal yang menarik yakni mengenai bentuk dan kualifikasi dari tindak pidana yang terbukti dilakukan oleh terdakwa-terdakwa yakni disamping dinyatakan kualifikasi dari tindak pidana pokoknya (korupsi dan memasukan keterangan palsu) juga di tambah kualifikasinya “yang dilakukan SECARA BERLANJUT (voortgezette handeling) “.
Amar putusan dengan bentuk seperti itu secara empirik banyak dijatuhkan, baik di tingkat peradilan tingkat pertama, banding maupun tingkat kasasi.  Sehingga bukan merupakan hal baru dan aneh apabila Hakim menyatakan telah terbuktinya suatu tindak pidana yang dilakukan secara berlanjut.
Tetapi dibalik bukan hal yang baru dan bukan hal yang aneh, sebenarnya terdapat persoalan yang klasik tetapi masih perlu pemahaman dan diskusi lebih lanjut yakni apakah perbuatan berlanjut tersebut merupakan suatu bentuk khusus dari tindak pidana ?.  Tentunya dengan melihat bentuk vonis seperti tersebut di atas maka terlihat Mahkamah Agung menganut aliran bahwa perbuatan berlanjut merupakan suatu bentuk khusus dari tindak pidana, i.c merupakan bentuk khusus dari tindak pidana korupsi dan tindak pidana memasukan keterangan palsu, oleh karena dalam vonis tersebut dinyatakan tindak pidana tersebut dilakukan secara berlanjut.
Padahal jauh sebelum putusan-putusan tersebut lahir, Mahkamah Agung sebagaimana ternyata dalam Putusan MA No. 156 K/Kr/1963 Tanggal 28 April 1964 menyatakan bahwa soal perbuatan lanjutan (Voortgezette handeling) hanya mengenai soal penjatuhan hukuman (straftoemating) dan tidak mengenai pembebasan dari tuntutan.
Dengan adanya hal tersebut di atas maka menimbulkan pertanyaan apakah perbuatan berlanjut merupakan suatu bentuk khusus dari tindak pidana atau hanya aturan mengenai pemidanaan semata?  Pertanyaan tersebut dalam tulisan ini akan dikaitkan dengan efektivitas dari ketentuan tentang perbuatan berlanjut tersebut dalam pembuktian terjadinya suatu tindak pidana yang didakwakan dan konsekuensi yuridis dari pembuktian adanya perbuatan berlanjut dikorelasikan pula dengan sistem pemidanaannya.
B.     Konstruksi Yuridis dari Perbuatan Berlanjut
Sebagaimana kita ketahui ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP yang mengatur tentang “perbuatan berlanjut” (voortgezette handeling), tercantum dalam BAB VI tentang Perbarengan (concursus).  Dimana dalam KUHP tidak dijelaskan mengenai arti dari perbarengan itu sendiri, tetapi  dari rumusan pasal-pasal 63 s/d 71 KUHP diperoleh pengertian concursus adalah dalam bentuk perbarengan peraturan (concursus idealis), perbuatan berlanjut (voortgezette handeling) dan perbarengan perbuatan (concursus realis).
Ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP menyatakan Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus di pandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya dikenakan satu aturan pidana, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
Dalam memori penjelasan tentang pembentukan Pasal 64 KUHP dimuat antara lain :
1.      Bahwa beberapa perbuatan itu harus merupakan pelaksanaan suatu keputusan yang terlarang, bahwa suatu kejahatan yang berlanjut itu hanya dapat terjadi dari sekumpulan tindak pidana yang sejenis.
2.      Bahwa suatu pencurian dan suatu pembunuhan atau suatu pencurian dan suatu penganiayaan itu secara bersama-sama tidak akan pernah dapat menghasilkan suatu perbuatan berlanjut oleh karena :
a.       Untuk melaksanakan kejahatan-kejahatan itu, pelakunya harus membuat lebih dari satu keputusan.
b.      Untuk membuat keputusan-keputusan seperti itu dan untuk melaksanakannnya, pelakunya pasti memerlukan waktu yang berbeda.
Berdasarkan memori penjelasan tersebut maka secara teoritis dikatakan ada perbuatan berlanjut apabila ada seseorang melakukan beberapa perbuatan, perbuatan tersebut masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran dan antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut, dimana menurut Memorie van Toelichting “ada hubungan sedemikian rupa” kriterianya adalah :
1.      Harus ada satu keputusan kehendak.
2.      Masing-masing perbuatan harus sejenis.
3.      Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlampau lama.
Hal pertama yang harus dibuktikan adalah adanya beberapa perbuatan berupa kejahatan atau pelanggaran, dimana hukum mensyaratkan perbuatan-perbuatan tersebut harus sejenis.  Seperti yang dinyatakan oleh R. Soesilo perbuatan-perbuatannya itu harus sama atau sama macamnya, misalnya pencurian dengan pencurian, termasuk pula segala macam pencurian dari yang teringan sampai yang terberat, penggelapan dengan penggelapan mulai dari yang teringan sampai dengan yang terberat, penganiayaan dengan penganiayaan meliputi semua bentuk penganiayaan, dari penganiayaan ringan sampai penganiayaan berat.
Tetapi hukum juga mengartikan perbuatan sejenis tidak melulu dalam bentuk fisik perbuatan yang sama, bisa juga bentuk perbuatan yang berbeda, pengertian ini khusus dalam konstruksi jika orang melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak itu (Vide Pasal 64 ayat 2 KUHP).
Contoh dari beberapa perbuatan yang tidak sejenis dan bukan merupakan syarat adanya perbuatan berlanjut adalah seperti yang ternyata dalam Arrest HR 30 Juni 1913 bahwa bukan merupakan perbuatan berlanjut karena perbuatan-perbuatan yang tidak sama jenis adalah membuka suatu surat (pasal 432 KUHP) serta mengubah isinya (pasal 433 KUHP).
Selanjutnya beberapa tindak pidana yang sejenis bisa disebut sebagai perbuatan berlanjut apabila dipenuhi syarat lanjutannya yakni berasal dari satu keputusan kehendak dan dilakukan dalam tenggang waktu yang tidak terlalu lama.
Dalam Arrest HR 11 Juni 1894, dinyatakan untuk perbuatan berlanjut tidak saja diperlukan adanya perbuatan-perbuatan yang sama jenis yang telah dilakukan, disamping itu perbuatan-perbuatan tersebut harus mewujudkan keputusan perbuatan terlarang yang sama. 
Satu keputusan kehendak merupakan pengertian yuridis yang dikonstruksikan bahwa pelaku melakukan beberapa tindak pidana tersebut berasal dari satu niat, yakni tertuju pada satu objek tindak pidana tersebut.  Untuk lebih menyederhanakan hal ini R. Soesilo memberi contoh dari adanya “timbul dari suatu niat atau kehendak atau keputusan”, misalnya seseorang tukang berniat mempunyai (mencuri) radio, tetapi tidak ada kesempatan untuk mencuri satu pesawat radio yang komplit.  Ia hanya berkesempatan hari ini mencuri beberapa lampu radio dari gudang majikannya, lain hari mencuri pengeras suara lain minggu lagu mencuri kawat-kawat dan seterusnya.
Mengenai syarat “satu keputusan kehendak” Simons mengartikannya secara umum dan lebih luas yaitu tidak berarti harus ada kehendak untuk tiap-tiap kejahatan.  Berdasar pengertian luas ini, maka tidak perlu perbuatan-perbuatan itu sejenis, asal perbuatan itu dilakukan dalam rangka pelaksanaan satu tujuan misalnya untuk melampiaskan balas dendamnya kepada B, A melakukan serangkaian perbuatan-perbuatan berupa meludahi, merobek bajunya, memukul dan akhirnya membunuh.
Dalam tataran praktek untuk membuktikan adanya satu niat ini cukup sulit, sebagai contoh dalam Putusan MA No. 162 K/Kr/1962 tanggal 5 Maret 1963 dinyatakan bahwa penghinaan-penghinaan ringan yang dilakukan terhadap lima orang pada hari-hari yang berlainan tidak mungkin berdasar satu keputusan kehendak (wilsbesluit), maka tidak dapat di pandang lagi satu perbuatan dan tidak dapat atas kesemua perkara diberikan satu putusan.
Dengan demikian yang menjadi pegangan untuk menentukan adanya satu keputusan kehendak adalah perbuatan tersebut di tujukan pada satu objek tindak pidana (object delict).
Syarat selanjutnya adalah dilakukan dalam tenggang waktu yang tidak lama.  Pengertian “waktu yang tidak lama” ini terlihat sangat mudah dibaca akan tetapi sebenarnya sulit dalam penerapannya, oleh karena tidak ada aturan lebih lanjut mengenai batasan “waktu yang tidak lama”, apakah hal ini ukurannya hari, bulan atau tahun, hal ini tidak jelas diatur.
Sebagai bahan pegangan dalam Arrest HR 26 Juni 1905 dinyatakan bahwa adanya kesamaan jenis dari perbuatan-perbuatan tidaklah cukup.  Apabila dua perbuatan terpisah oleh suatu waktu perantara selama 4 hari dan tidak terbukti, bahwa garis perbuatan tersangka pada perbuatan yang pertama adalah sama dengan perbuatan yang kedua, maka tidak ada perbuatan berlanjut.
Berikut ini disampaikan beberapa contoh kasus yang dikualifikasikan sebagai perbuatan berlanjut :
1.      Contoh dari Mr. H. M Tirtaamidjaja :
-          A hendak berzina dengan seorang perempuan B yang telah bersuami, A melaksakan maksudnya itu dengan beberapa kali berzina dengan perempuan itu dalam selang waktu yang tidak terlalu lama.
-          A menguasai kas N. V tempat ia bekerja, memutuskan untuk mengambil untuk dirinya sendiri sebagian dari kas itu.  Untuk melaksanakan maksud itu, ia mengambil beberapa kali dalam interval waktu yang tak lama suatu jumlah tertentu.
2.      Contoh dari Mr. J. M van Bemmelen :
-          Seseorang mencuri suatu tumpukan batu, akan tetapi tidak sanggup mengangkut batu itu sekali jalan.  Jadi, ia terpaksa beberapa kali mondar mandir dengan gerobaknya untuk mengangkut batu itu semuanya.
Dari hal-hal tersebut maka point yang menjadi pegangan untuk menyebut adanya suatu perbuatan berlanjut adalah :
-          Terdakwa melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran) yang sejenis, berasal dari satu keputusan kehendak dan dilakukan dalam tenggang waktu yang tidak terlalu lama.
C.    Konsekuensi Yuridis dari perbuatan berlanjut
Seperti tersebut dalam bagian pendahuluan, merupakan hal yang klasik pertentangan pendapat tentang perbuatan berlanjut.  Dimana  terdapat dua pandangan besar atas perbuatan berlanjut ini yang pertama memandang sebagai soal penjatuhan pidana semata antara lain Hazewinke-Suringa, dan Kedua yang memandang sebagai bentuk khusus tindak pidana antara lain Pompe, Mezger, Mulyatno.   Dimana masing-masing pihak tersebut memiliki dalil pembenarnya.
Pengadilan juga menyikapi hal yang sama atas hal tersebut, hal ini seperti terlihat dari putusan Putusan Mahkamah Agung No. 02.K/Pid/1995, No. 995 K/Pid/2006 dan No. 996 K/Pid/2006 yang menganut bahwa perbuatan berlanjut merupakan bentuk khusus dari tindak pidana, dan Putusan Mahkamah Agung No. 156 K/Kr/1963 Tanggal 28 April 1964 yang secara tegas menyatakan bahwa soal perbuatan berlanjut (Voortgezette handeling) hanya mengenai soal penjatuhan hukuman (straftoemating).
Indikasi yang nyata bahwa Putusan MA menganut aliran bahwa perbuatan berlanjut merupakan bentuk khusus dari tindak pidana, Penulis melihatnya dari  amar putusan mengenai kualifikasi tindak pidana yang terbukti yakni ada penambahan kalimat “ ..... yang dilakukan secara berlanjut / ..... yang merupakan beberapa perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan berlanjut” dibelakang tindak pidana pokok yang terbukti.
Bahwa indikasi tersebut hanya dilihat dari bentuk/kualifikasi amar putusan oleh karena dalam pertimbangan hukum putusan-putusan tersebut tidak dipertimbangkan secara khusus mengenai kedudukan perbuatan berlanjut tersebut, apakah sebagai bentuk khusus tindak pidana atau Straftoemating.  Hal ini juga terlihat dari putusan-putusan pengadilan di bawahnya, bukan merupakan suatu kelaziman jika Hakim dalam putusannya mempertimbangkan tentang kedudukan perbuatan berlanjut tersebut, jarang sekali Hakim dalam mempertimbangankan terbukti tidaknya perbuatan berlanjut mempertimbangkan pula kedudukannya Pasal 64 ayat (1) KUHP ini apakah sebagai bentuk khusus tindak pidana atau Straftoemating semata.
Senyatanya dengan melihat konstruksi yuridis perbuatan berlanjut maka terlihat perbuatan berlanjut bukan merupakan hal yang sederhana dan mudah dibuktikan. Dengan kata lain perbuatan berlanjut merupakan hal yang kompleks dan membutuhkan pembuktian yang cermat untuk 3 unsurnya tersebut (yakni harus dibuktikan adanya satu niat untuk melakukan beberapa tindak pidana yang sejenis yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tidak lama).   Dimana hampir semua unsur dari adanya perbuatan berlanjut secara teoritis tidak memiliki pengaturan yang jelas, misalnya mengenai pengertian dari satu keputusan kehendak, mengenai tenggang waktu.
Tetapi disisi lain, yakni jika kita memperhatikan kalimat penutup dari ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP, yakni ... hanya dikenakan satu aturan pidana, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat, (penjatuhan pidana dengan sistem absorpsi) maka dari hal tersebut terlihat PADA POKOKNYA, terbukti adanya perbuatan berlanjut tidak dapat dijadikan dasar untuk memperberat dalam penjatuhan pidana.
Dalam pengertian apabila terbukti terdapat perbuatan berlanjut yang dilakukan terdakwa, Hakim tidak dapat menjatuhkan pidana yang lebih berat dari ancaman pidana maksimal dalam aturan pasalnya oleh karena hukum mengatur hanya dikenakan satu aturan pidana c.q.  pidana pokok yang paling berat.  Apalagi ternyata dalam praktek, Hakim memutus biasanya dibawah ketentuan pidana maksimal.
Sehingga ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP jika digunakan oleh Penuntut Umum dalam dakwaannya dalam kerangka untuk memperberat kualitas dari tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa dipastikan tidak akan tercapai, sehingga terlihat aturan ini mempersulit pembuktian dakwaan Penuntut Umum sendiri.
Tetapi perbuatan berlanjut dapat dijadikan dasar untuk memperberat penjatuhan pidana HANYA khusus seperti yang diatur dalam Pasal 64 ayat 3 KUHP yakni dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan), dan 407 ayat 1 (perusakan barang ringan) yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut dikenakan aturan pidana untuk kejahatan biasa, berarti yang dikenakan adalah Pasal 362 (pencurian), 372 (Penggelapan), 378 (Penipuan) atau 406 (Perusakan barang).
Dengan demikian konsepsi awal yang harus dipegang adalah TERBUKTI ADANYA PERBUATAN BERLANJUT TIDAK MEMPUNYAI KORELASI DENGAN PENJATUHAN PIDANA LEBIH BERAT DARI ANCAMAN PIDANANYA, kecuali yang diatur dalam Pasal 64 ayat (3) KUHP. 
Selanjutnya jika kita mengkonsepsikan perbuatan berlanjut adalah bentuk khusus dari tindak pidana, maka perbuatan berlanjut dalam hal ini konstruksi hukumnya sama dengan percobaan dan penyertaan dalam tindak pidana, yakni terkualifikasi sebagai unsur-unsur yang menyatu dengan tindak pidana pokok yang didakwakan.
Oleh karena menyatu dengan unsur tindak pidana pokok dalam dakwaan, maka Penuntut Umum dalam dakwaannya dan Hakim dalam putusannya harus menguraikan dan mempertimbangkan dengan cermat dan jelas mengenai terbukti tidaknya perbuatan berlanjut tersebut.  Dan yang harus digaris bawahi oleh karena kedudukan unsur perbuatan berlanjut adalah sama dengan kedudukan unsur-unsur tindak pidana pokok maka apabila unsur perbuatan berlanjut tidak terbukti dipersidangan konsekuensi yuridisnya seharusnya tindak pidana yang di dakwakan juga tidak terbukti, karena hal ini juga berlaku dalam hal terjadi percobaan dan penyertaan dalam tindak pidana, apabila percobaan (Pasal 53 KUHP) dan penyertaan (Pasal 55, 56 KUHP) tidak terbukti maka tindak pidana yang menjadi pokok dakwaan harus juga dinyatakan tidak terbukti.
Contoh kasus misalnya terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana koruspi (dakwaan Pokok), tetapi ternyata tindak pidana korupsi tersebut tidak terkualifikasi sebagai perbuatan berlanjut, jika Hakim berpendirian perbuatan berlanjut adalah bentuk khusus dari tindak pidana, maka nyata tindak pidana korupsi tersebut seharusnya tidak terbukti dan terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan. 
Tetapi dilain pihak apabila ternyata unsur-unsur tindak pidana dan unsur perbuatan berlanjut tersebut terbukti maka Hakim tidak dapat menjatuhkan pidana melebihi ancaman pidana dari pasal yang didakwakan (memperberat pidana melebihi ancaman pidananya).
Dengan demikian nyata penerapan aturan perbuatan berlanjut sebagai bentuk khusus dari tindak pidana dalam praktek pengadilan sangat tidak berimbang peran dan kedudukannya, yakni jika terbukti tidak berkorelasi dengan pemberatan penjatuhan pidana (kecuali yang diatur dalam Pasal 64 ayat (3) KUHP) tetapi jika perbuatan berlanjut tidak terbukti maka dakwaan tidak terbukti pula, terdakwa harus dibebaskan dan dalam tataran lebih luas hal ini dapat menafikan rasa keadilan dan kemanfaatan.
Lain halnya jika perbuatan berlanjut tersebut dalam konsep sebagai sistem pengenaan pidana semata (Straftoemating), maka ketentuan perbuatan berlanjut tersebut hanya merupakan pedoman / pegangan bagi Hakim dalam penjatuhan pidana.  Dimana sesuai dengan ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP, penjatuhan pidana terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana yang dilakukan secara berlanjut adalah dengan menggunakan sistem absorpsi yakni hanya dikenakan satu aturan pidana, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat
Konsekuesi dari perbuatan berlanjut sebatas pedoman penjatuhan pidana maka Penuntut Umum tetap harus menguraikan adanya perbuatan berlanjut dalam dakwaannya dan Hakim dalam putusannya tetap harus mempertimbangkan ada tidaknya perbuatan berlanjut tersebut, tetapi dalam konsepsi ini ada hal yang menguntungkan yakni pembuktian terpenuhi atau tidaknya perbuatan berlanjut tidak berpengaruh pada pembuktian unsur-unsur tindak pidana pokok yang didakwakan tetapi hanya berpengaruh pada masalah pengenaan pidana yang dijatuhkan semata.
Sehingga jika ketentuan perbuatan berlanjut yang didakwakan kepada Terdakwa tidak terbukti tetapi dakwaan pokoknya terbukti maka dakwaan tersebut haruslah tetap dinyatakan terbukti, apabila dalam contoh kasus di atas, Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi tetapi perbuatan berlanjutnya tidak terbukti maka Terdakwa tetap harus dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Lantas bagaimana legalitas dari perbuatan berlanjut yang tidak terbukti tersebut, maka menurut Penulis aturan mengenai perbuatan berlanjut tersebut harus dikesampingkan dan tidak dijadikan dasar bagi Hakim dalam penjatuhan pidana terhadap terdakwa.  Sebagai contoh Hakim dalam putusannya dalam menyatakan sebagai berikut :
-          Menimbang, bahwa dari fakta-fakta tersebut di atas nyata perbuatan terdakwa haruslah dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri karena perbuatan-perbuatan tersebut dihasilkan dari keputusan kehendak yang berbeda-beda dan berdiri sendiri, sehingga tidaklah dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan berlanjut.
-          Menimbang, bahwa dengan demikian ketentuan Pasal 64 Ayat (1) KUHP tentang pengenaan pidana terhadap perbuatan berlanjut yang ikut didakwakan kepada Terdakwa haruslah dikesampingkan dan tidak dijadikan dasar oleh Majelis dalam pengenaan atau penjatuhan pidana kepada Terdakwa.
Dengan konsepsi perbuatan berlanjut bukan merupakan bentuk khusus dari tindak pidana tetapi hanya aturan mengenai pengenaan pidana semata maka pembuktian ada tidaknya perbuatan berlanjut seimbang dengan kedudukan / fungsi pengaturan penjatuhan pidananya yang sebenarnya hanya memberikan pengaturan penjatuhan pidana apabila ada perbuatan berlanjut.
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata “perbuatan berlanjut” menurut pembuat undang-undang masih patut diatur, hal ini seperti yang terlihat dari RUU tentang KUHP yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, yakni dalam Pasal 138 RUU KUHP dinyatakan :
(1)   Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang saling berhubungan sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut dan diancam dengan ancaman pidana yang sama maka hanya dijatuhkan satu pidana.
(2)   Jika tindak pidana perbarengan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diancam dengan pidana yang berbeda maka hanya dijatuhkan pidana pokok yang terberat.
(3)   Ketentuan mengenai penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tindak pidana memalsu atau merusak mata uang dan menggunakan uang palsu atau uang yang dirusak tersebut.
Dari rancangan tersebut terlihat tidak ada perubahan yang mendasar dari perbuatan berlanjut yang diatur dalam Pasal 64 KUHP, baik itu kualifikasinya maupun sistem pengenaan pidananya yang menggunakan sistem absorpsi, dimana dalam praktek pengadilan ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP ini jarang diperhatikan oleh karena kecenderungan Hakim memutus kurang atau dibawah ancaman maksimal pidana.
D.    Kesimpulan.
Penelaahan ini dititik beratkan pada pemberlakuan aturan perbuatan berlanjut dalam praktek pengadilan yakni dikaitkan dengan segi efektifitas dan daya berlakuanya ketentuan ini dan dapat disimpulkan hal-hal sebagai          berikut :
-          Ketentuan pasal 64 ayat (1) KUHP yang mengatur tentang pengenaan pidana terhadap perbuatan berlanjut dalam praktek aturannya jarang diperhatikan Hakim, oleh karena Hakim dalam memutus suatu perkara pidana cenderung pidananya dibawah ancaman pidana maksimal.
-          Hal yang memudahkan, menguntungkan dalam praktek dan memenuhi rasa keadilan jika perbuatan berlanjut tersebut dikonsepsikan dan dikonstruksikan sebagai aturan pengenaan pidana semata (bukan sebagai bentuk khusus dari tindak pidana) oleh karena jika “perbuatan berlanjut” tidak terbukti maka tidak menyebabkan dakwaan tidak terbukti jika ternyata unsur-unsur tindak pidana pokok yang didakwakan telah terbukti.
E.     Daftar Pustaka
Marpaung, L. Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Prodjodikoro, W. Asas-asas Hukum pidana, PT. Eresco, Bandung, 1989
Soesilo, R. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Lengkap, Politea, Bogor, 1978
Soerodibroto, S.  KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi MA dan HR, Rajawali Pers, Jakarta, 1994.
Tirtaamidjaja, M. H, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Fasco, Jakarta, 1955.
Van Bemmelen, J. M. Hukum Pidana I (Hukum Pidana material bagian umum), Binacipta, Jakarta, 1979.
Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
Majalah Varia Peradilan Tahun ke XXI No. 250 September 2006

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KUASA YANG SAH DI SIDANG PENGADILAN (Domain mutlak dari advokat?)

Ada pandangan sejak diundangkannya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat maka setiap orang yang akan menjadi “wakil/kuasa” di persidangan pengadilan baik dalam perkara perdata terutama dalam perkara pidana haruslah orang dalam kualitas sebagai advokat.  Hal tersebut dikarenakan menurut UU No. 18 Tahun 2003 Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum , menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum ( vide Pasal 1 angka 1 jis angka 2 dan angka 3) Pandangan tersebut semakin terlegitimasi dengan adanya ketentuan Pasal 31 UU Advokat yang mengancam pidana bagi orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat. Akan tetapi benarkah demikian ?? Dalam persidangan perdata, Buku

PENDAMPINGAN PENASIHAT HUKUM BAGI ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM

A.     Asas Pendampingan oleh Penasihat Hukum Asas dalam UU Kekuasaan Kehakiman adalah setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum [1] (Pasal 56 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009) dan asas ini diatur ulang dalam Pasal 68B ayat (1) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.  Salah satu bentuk konkrit dari memperoleh bantuan hukum khususnya dalam perkara pidana adalah mendapat pendampingan dari Penasihat Hukum [2] , dimana dalam semua tingkat pemeriksaan Tersangka/Terdakwa berhak didampingi oleh Penasihat Hukum.  Pendampingan Tersangka oleh Penasihat Hukum pada tingkat penyidikan dan penuntutan merupakan hal baru karena baru diatur dalam KUHAP, hal ini sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan KUHAP sebagai berikut : Meskipun Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 telah menetapkan bahwa hanya ada satu hukum acara pidana yang berlaku untuk seluruh Indonesia, yaitu R.I.B, akan tetapi ketentuan yang tercantum di dalamnya ternyata belum memberikan jaminan dan pe

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK BAGIAN 2

BAGIAN 2 No PERIHAL UU SPPA (UU NO. 11 TAHUN 2012) UU PENGADILAN ANAK (UU NO. 3 TAHUN 1997) 1.          Hal yang wajib diperhatikan dalam penangangan perkara anak -   Dalam menangani perkara Anak, Anak Korban, Anak Saksi : 1.        Pembimbing Kemasyarakatan 2.        Pekerja Sosial Profesional 3.        Tenaga Kesejahteraan Sosial 4.        Penyidik 5.        Penuntut Umum 6.        Hakim, 7.        Advokat 8.        Pemberi bantuan hukum lainnya Wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara (Pasal 18) Suasana kekeluargaan misalnya suasana yang membuat Anak nyaman, ramah Anak, serta tidak menimbulkan ketakutan dan tekanan. -   Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim wajib memberikan pelindungan khusus bagi Anak yang diperiksa karena tindak pidana yang dilakukannya dalam situasi darurat ( Pasal 17 ayat 1)