KUASA YANG SAH DI SIDANG PENGADILAN (Domain mutlak dari advokat?)
Ada pandangan sejak diundangkannya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat maka setiap orang yang akan menjadi “wakil/kuasa” di persidangan pengadilan baik dalam perkara perdata terutama dalam perkara pidana haruslah orang dalam kualitas sebagai advokat.
Hal tersebut dikarenakan menurut UU No. 18 Tahun 2003 Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum (vide Pasal 1 angka 1 jis angka 2 dan angka 3)
Pandangan tersebut semakin terlegitimasi dengan adanya ketentuan Pasal 31 UU Advokat yang mengancam pidana bagi orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat.
Akan tetapi benarkah demikian ??
Dalam persidangan perdata, Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus Buku II Edisi 2007 hal 53-54, digariskan bahwa yang dapat bertindak sebagai kuasa/wakil dari penggugat/tergugat atau pemohon di pengadilan adalah :
- Advokat ;
- Jaksa dengan kuasa khusus sebagai kuasa/wakil Negara/Pemerintah sesuai dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI Pasal 30 ayat (2);
- Biro Hukum Pemerintah/TNI/Kejaksaan RI;
- Direksi/Pengurus atau karyawan yang ditunjuk dari suatu badan hukum;
- Mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan (misalnya LBH, Hubungan Keluarga, Biro hukum TNI/POLRI untuk perkara-perkara yang menyangkut anggota/keluarga TNI/POLRI);
- Kuasa insidentil dengan alasan hubungan keluarga sedarah atau semenda dapat diterima sampai dengan derajat ketiga yang dibuktikan surat keterangan kepala desa/lurah;
Perlu mendapat perhatian adalah mengenai kuasa dari Biro Hukum/Dinas Hukum TNI/POLRI atau bentuk penamaan lainnya, jika berpandangan pada buku pedoman artinya dimungkinkan lembaga TNI/POLRI digunakan untuk beracara dan menjadi kuasa bagi kepentingan pribadi seseorang, dengan syarat orang tersebut anggota TNI/POLRI atau keluarga dari TNI/POLRI dan konstruksi ini sama jika Biro Bantuan Hukum Perguruan tinggi menjadi kuasa bagi kepentingan pribadi seseorang. Dan kuasa tersebut dibuat dalam konstruksi kuasa insedentil.
Dasar hukum dari bisa beracaranya Biro Hukum/Diskum TNI Polri mewakili kepentingan privaat adalah Surat Mahkamah Agung Nomor MA/KUMDIL/8810/IX/1987 tanggal 21 September 1987, tentang izin sebagai Pembela/Penasihat hukum, (dikutip dari laman https://dilmil-jayapura.go.id/layanan-bantuan-hukum-bagi-masyarakat-kurang-mampu/), yang isinya antara lain sebagai berikut:
1. Pada dasarnya profesi Penasihat hukum memang tidak dapat dirangkap dengan jabatan sebagai pegawai negeri maupun anggota ABRI.
2. Setelah memperhatikan penjelasan-penjelasan yang tersebut dalam surat KODAM IX Udayana tanggal 28 Juni 1987 No. B/73/VII/1987 mengenai Kedudukan Orgas Kumdam yang tentunya berlaku untuk seluruh jajaran Angkatan Darat, maka dapat disimpulkan bahwa:
a) Penunjukan seorang perwira Hukum dalam lingkungan Kodam yang bersangkutan untuk membela suatu perkara di muka pengadilan selalu bersifat insidentil dan selalu sebagai usaha pengabdian tanpa pengharapan suatu imbalan jasa;
b) Pemberian bantuan/nasehat hukum terbatas pada Kodam atau pejabat atau anggota keluarga TNI di Lingkungan Kodam.
3. Selanjutnya menurut petunjuk Dirkum TNI AD No. B/243/VI/1979, mereka-mereka yang dapat diberikan bantuan hukum oleh Perwira hukum Kodam yang ditunjuk diperluas menjadi:
a) Instansi atau badan-badan di Lingkungan TNI AD dalam wilayah hukum Kotama setempat.
b) Para pejabat dan para anggota TNI AD serta karyawan sipil AD selaku individu, baik yang masih dinas aktif maupun dalam persiapan pensiun atau pensiun dan warakawuri beserta keluarganya dalam wilayah hukum Kotama setempat.
c) Mereka yang mempunyai ikatan dinas atau hubungan kerja dengan TNI AD dalam wilayah hukum Kotama setempat.
d) Mereka yang tidak termasuk golongan a sampai c setelah terlebih dahulu dikonsultasikan/dijinkan oleh Dirkum TNI AD.
4. Bahwa pada tiap Kodam ada perwira-perwira hukum tertentu yang diberi tugas oleh Kodam untuk memberikan bantuan hukum yang bersifat insidental di muka pengadilan dapat dibenarkan.
5. Dalam rangka pengawasan dan penertiban segi administratifnya hendaknya nama-nama perwira tersebut didaftarkan pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi setempat. Dan setiap kali ada pemutasian, hal itupun hendaknya didaftarkan.
6. Untuk menghindarkan terjadinya pengaburan batas antara kegiatan penasihat hukum sebagai profesi dan pemberian bantuan hukum yang bersifat insidental, maka yang dapat dibenarkan dibela perkaranya oleh perwira hukum itu adalah:
a) Instansi atau badan-badan di lingkungan TNI AD, dalam wilayah hukum Kotama setempat.
b) Para pejabat dan anggota TNI AD dan karyawan sipil AD, selaku individu yang memiliki NIP, baik yang masih aktif maupun dalam masa persiapan pensiun atau selama mereka berkedudukan sebagai purnawirawan maupun warakawuri. Mengenai pengertian keluarga hendaknya tetap harus ada batasnya, yang dimaksud dengan keluarga dalam butir 6.b. tersebut adalah keluarga dari mereka yang masih aktif yang terdiri dari:
- Istri dan suami (bukan bekas istri atau bekas suami).
- Anak-anak yang belum berkeluarga.
- Orangtua dari suami atau istri tersebut.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka sejarah bantuan hukum di lingkungan militer di Indonesia sejak awal telah mengatur tentang pembatasan bantuan hukum bagi Prajurit TNI yang terkena masalah hukum, yakni mengutamakan bantuan hukum yang berasal dari internal TNI dengan ciri khas garis komando atau perintah dari atasan. Bahkan kalangan internal dapat melakukan bantuan hukum terhadap keluarga prajurit TNI dan PNS yang berdinas di lingkungan TNI untuk beracara di lingkungan peradilan umum.
- bahwa sebagai undang-undang yang mengatur profesi, seharusnya UU No. 18 Tahun 2003 tidak boleh dimaksudkan sebagai sarana legalisasi dan legitimasi bahwa yang boleh tampil di depan pengadilan hanya advokat karena hal demikian harus diatur dalam hukum acara, padahal hukum acara yang berlaku saat ini tidak atau belum mewajibkan pihak-pihak yang berperkara untuk tampil dengan menggunakan pengacara (verplichte procureurstelling). Oleh karena tidak atau belum adanya kewajiban demikian menurut hukum acara maka pihak lain di luar advokat tidak boleh dilarang untuk tampil mewakili pihak yang berperkara di depan pengadilan. Hal ini juga sesuai dengan kondisi riil masyarakat saat ini di mana jumlah advokat sangat tidak sebanding, dan tidak merata, dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang memerlukan jasa hukum;
Pertimbangan MK di atas jika dikaitkan dengan pihak yang memohon perkara, artinya yakni selain advokat, pihak Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH) UMM khususnya dan pihak biro bantuan hukum yang ada diseluruh perguruan tinggi di Indonesia bisa menjadi kuasa/wakil di persidangan.
Hal-hal di atas sedikit banyak menunjukkan menjadi kuasa dan beracara perdata di pengadilan bukanlah domain sepenuhnya dari advokat, masih ada pihak lain yang dapat melakukannya.


5 Komentar:
Nice info bro...
Lbh atau biro hukum pemda lebih tepat dan murah..
Cm yang jadi persoalan batasannya, apakah yang dpt diwakili okeh biro hukum itu terbatas pd yang masuk struktur organisasi pemerintahan atau lebih luas setiap penyelenggara pemerintahan contoh biro pemda apakah termasuk kepala desa, anggota dprd, kpu, panwas kemudian
Kasihan Advokat, untuk mendapatkan jadi Advokat cukup susah sementara biro hukum pemerintahan tinggal melamar pns bisa beracara, mmmmm
Tapi tidak semua menguasai hukum acara khususnya dibidang keperdataan, baik gugatan jawaban dsbgainya ada syarat formil dan
Materilnya sehingga gugatan dan atau pembelaan dalam perkara tidak sia-sia.
Bahkan seorang advokat pun jika masih tergolong baru terkadang tidak secara otomatis menguasai hal - hal tsbt.
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda