Langsung ke konten utama

“HAKIM TINGKAT PERTAMA TIDAK BERHAK MENDAPATKAN TUNJANGAN PEJABAT NEGARA ????”

Catatan ini awalnya “Surat” yang saya buat untuk meminta “kedudukan” sebagai “pejabat negara” dikartu ASKES (yang “jarang” berguna dan digunakan hehehe) ... kemudian disela-sela menunggu “giliran” bersidang dan menunggu jadwal menjemput anak pulang sekolah saya “mengeditnya”, jadi saya harapkan catatan ini dibaca tanpa kerut lebar dikening, Terima kasih sebelumnya berkenan untuk membaca.

BERITA :

a. Adanya “PERATURAN PEMERINTAH” yang mengatur tentang tunjangan pejabat negara bagi Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung (lihat berita lengkapnya di situs Mahkamah Agung, http://www.mahkamahagung.go.id/rnews.asp?bid=1390

b. Pembayaran tunjangan tersebut tinggal menunggu JUKLAK dari Menteri Keuangan.

ASUMSI :

Hakim Tingkat Pertama tidak terkualifikasi sebagai pihak yang menerima tunjangan Pejabat Negara.

DASAR ANALISIS :

1. Bahwa menurut Pasal 6 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dinyatakan “Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah pejabat negara yang melaksanakan tugas Kekuasaan Kehakiman”.

2. Bahwa Hakim Tingkat Pertama (i.c Pengadilan Negeri) juga terkualifikasi sebagai pejabat negara, hal ini secara normatif diatur dalam :

a. UU Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian :
• Pasal 11 ayat (1) huruf d menyatakan “Pejabat Negara terdiri dari atas Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan”;

• Penjelasan Pasalnya, “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan Hakim pada Badan Peradilan adalah Hakim yang berada di Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer dan Peradilan Agama”.

b. UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman :
• Pasal 19 menyatakan “Hakim dan Hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang”.

- Pasal 1 angka 5 menyatakan “Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut”.

Pasal 19 inilah merupakan pasal “sentral” yang mendudukan hakim sebagai pejabat negara, karena sebelumnya dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang lama (UU No. 4 Tahun 2004) hakim hanya disebut sebagai “pejabat” tanpa embel-embel “Negara” (vide Pasal 31 UU Kekuasaan Kehakiman lama menyatakan : “Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang”).

• Pasal 31 ayat (1) menyatakan “Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung”.

3. Bahwa pada tahun 2009 lahir paket UU perubahan Badan Peradilan yakni UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum (PU), UU No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama (PA), UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan TUN (PTUN).

4. Bahwa dalam Pasal 25 UU No. 49 Tahun 2009 tentang PU, diatur mengenai hak-hak Hakim PU yakni memperoleh :
a. Kedudukan protokoler ;
b. Gaji pokok ;
c. Tunjangan ( tunjangan jabatan, tunjangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan) ;
d. Biaya dinas, pensiun ;
e. Hak-hak lainnya, yaitu :
• rumah jabatan milik negara ;
• jaminan kesehatan ;
• sarana transportasi milik negara, yakni kendaraan bermotor roda empat berserta pengemudinya atau sarana lain yang memungkinkan seorang Hakim menjalankan tugas-tugasnya ;
f. Jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya, dari aparat terkait yakni aparat kepolisian.

5. Bahwa akan tetapi sayangnya dalam “paket UU Perubahan Peradilan Umum” yakni UU No. 48 Tahun 2009 jis UU No. 8 Tahun 2004, UU No. 2 Tahun 1986, sama sekali tidak dinyatakan atau disebutkan hakim peradilan umum sebagai “pejabat negara” tetapi hanya menyebutnya sebagai “pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan Kehakiman”.

a. Pasal 12 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1986 yang kemudian dirubah Pasal 12 (1) UU No. 8 Tahun 2004 menyatakan “Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melaksanakan tugas Kekuasaan Kehakiman”.

b. Seharusnya ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2004 ini termasuk pasal yang direvisi oleh UU No. 48 Tahun 2009 dan harus disesuaikan dengan UU lainnya (kepegawaian dan kehakiman).

c. Hal ini patut disayangkan karena dalam UU Kepegawaian tahun 1999 dan dalam UU Kehakiman tahun 2009, sudah secara nyata disebutkan hakim sebagai “pejabat negara” tidak sebatas “pejabat” saja.


ANALISIS :

1. Bahwa jika membaca berita di situs MA maka nyata dan jelas Hakim Tingkat Pertama (i.c Hakim Pengadilan Negeri) tidak disebutkan sebagai pihak yang berhak menerima “tunjangan Pejabat Negara”.

2. Bahwa meskipun dalam “paket UU Peradilan Umum”, Hakim peradilan umum tidak secara an sich disebutkan sebagai pejabat negara, akan tetapi jika kita merujuk pada ketentuan UU Kepegawaian dan UU Kekuasaan Kehakiman tersebut di atas maka terkonstruksikan kedudukan Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan “DISAMAKAN” dengan kedudukan Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, yakni sama-sama didudukan sebagai “PEJABAT NEGARA”.

a. Dalam Pasal 19 Jo. Pasal 1 angka 5, UU Kekuasaan Kehakiman, nyata disebutkan “Hakim dan Hakim konstitusi adalah pejabat negara...”, frasa “Hakim” disana jelas artinya Hakim Agung dan semua hakim diseluruh badan peradilan, dalam pasal tersebut tidak disebutkan “Hakim Agung dan Hakim konstitusi”. Aturan ini berarti “hakim agung dan hakim dibawahnya” adalah satu kesatuan dan satu bentuk.

b. Dalam UU Kepegawaian, penyebutan “Hakim Agung dan Hakim pada semua badan peradilan sebagai pejabat negara” diatur dalam pasal dan ayat yang sama yakni dalam Pasal 11 ayat (1) hurud d, hal ini memberikan “arti yang mendalam secara yuridis”, yakni keduanya merupakan pejabat negara dalam bentuk dan kualifikasi yang sama.

c. Artinya, kedua UU tersebut memberikan “bentuk, kualifikasi dan kedudukan yang sama” antara hakim agung dengan hakim semua badan peradilan.

3. Bahwa dengan “samanya” Hakim Agung dengan Hakim Tingkat Pertama sebagai “pejabat negara”, maka konsekuensinya : hak dan kewajiban yang melekat pada keduanya adalah sama, artinya jika Hakim Agung sebagai pejabat negara berhak atas suatu “hal” maka Hakim Pengadilan Tingkat Pertama juga berhak atas “hal” tersebut.

4. Bahwa dengan demikian dapat dikatakan apabila ada pernyataan Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung mendapat tunjangan pejabat negara maka pernyataan tersebut (harus dibaca) melekat juga pada Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan.

5. Bahwa indikasi “Hakim tingkat pertama” berhak mendapatkan tunjangan pejabat negara semakin nyata jika kita melihat adanya :

a. Perubahan dari UU Kehakiman, dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang lama (UU No. 4 Tahun 2004) Hakim (termasuk didalamnya Hakim Tk. I) hanya disebutkan sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 31) sedangkan dalam UU Kekuasaan Kehakiman baru (UU No. 48 Tahun 2009) secara tegas dinyatakan HAKIM (termasuk didalamnya Hakim Tk. I) adalah PEJABAT NEGARA (vide pasal 19 jo Pasal 31 ayat 1)

b. Perubahan dari UU Badan Peradilan pada tahun 2009 (yakni perubahan atas UU PU, UU PA, dan UU PTUN), dimana dalam aturannya terlihat adanya penekanan khusus mengenai hak-hak Hakim Tingkat Pertama yang didudukan sebagai pejabat negara oleh undang-undang (Lihat Pasal 25 UU PU, Pasal 24 UU PA, dan Pasal 25 UU PTUN).

6. Bahwa indikasi lainnya yakni jika melihat bentuk pengaturan mengenai pemberian tunjangan pejabat negara yang diberitakan adalah dalam bentuk PERATURAN PEMERINTAH maka dipastikan PP tersebut tidak akan bertentangan dengan peraturan lebih tinggi (UU), artinya tidak mungkin PP tersebut memberikan aturan bahwa yang berhak mendapat tunjangan pejabat negara adalah hanya Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung karena nyata dan jelas UU mengatur bahwa pejabat negara tidak hanya Hakim Agung tetapi juga Hakim pada seluruh badan peradilan.

KONSKLUSI :

1. Berdasar hal-hal di atas maka kita masih memiliki “harapan” yang didukung dasar yuridis yang kuat bahwa jika “Hakim Agung” menerima tunjangan Pejabat Negara maka “Hakim Tingkat Pertama” juga menerima tunjangan Pejabat Negara tersebut.

2. Bahwa jika benar ada Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai tunjangan pejabat negara hanya untuk Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung maka PP tersebut bertentangan dengan UU yakni UU Kepegawaian dan UU Kekuasaan Kehakiman, karena sekali lagi kedua UU mengatur dengan tegas bahwa Hakim pada seluruh badan peradilan adalah juga pejabat negara.

3. Jikalau benar ada aturan tentang tunjangan pejabat hanya khusus untuk Hakim Agung, maka disarakan aturan tersebut tidak berjudul “tunjangan pejabat negara”, agar tidak bertentangan/berbenturan dengan UU, aturan tersebut sebaiknya diberi judul lain misalnya “tunjangan Hakim Agung”.

PENUTUP :

1. Demikian catatan ini dibuat tanda tendensi apapun dan tanpa bermaksud untuk menggurui, catatan ini hanya memberikan pandangan saya pribadi dari sudut normatif sehingga apabila ada pendapat lain saya menerimanya dengan terbuka.

2. Kami, khususnya saya sebagai Hakim Pengadilan Negeri telah mensyukuri pendapatan yang diterima dalam bentuk gaji pokok, tunjangan jabatan, tunjangan 1 isteri, tunjangan 2 anak, uang makan, biaya dinas dan uang remunerasi (meskipun masih 70% dibayarkan).

3. Karenanya jikalau dalam catatan ini terdapat hal-hal yang tidak sesuai dan memuat hal yang tidak berkenan, saya mohon maaf.
Terima kasih.

HAKIM (TINGKAT PERTAMA DAN TINGKAT BANDING) ....... SIAPAKAH DIRI ANDA???

Catatan ini merupakan lanjutan dari catatan pertama saya “Hakim Tingkat Pertama tidak berhak mendapatkan tunjangan pejabat negara?”... Harapan mendasar pembuatan catatan ini bisa menjadi tambahan bahan pemikiran yang positif buat kejelasan dan keadilan nasib hakim umumnya, khususnya hakim tingkat pertama dan tingkat banding.

Sebagai prolog ... Kami, khususnya saya sebagai Hakim Pengadilan Negeri tidak sedikitpun terpercik keinginan dan mengiba-iba untuk memperoleh status sebagai “pejabat negara” .. sama sekali tidak, saya yakin Hakim di seluruh Indonesia sudah sangat berat dengan status, tanggung jawab yang diamanahkan sebagai seorang HAKIM .. tanpa embel-embel Pejabat Negara.

Tetapi UU dengan tegas mendudukan hakim tingkat pertama dan tingkat banding sebagai “pejabat negara” yakni diantaranya :

- Pasal 11 ayat (1) huruf d UU Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menyatakan “Pejabat Negara terdiri dari atas Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan”;

- Pasal 19 jo Pasal 1 angka 5 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan “Hakim dan Hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang”. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.

- Pasal 31 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 menyatakan “Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung”.

- Tetapi dalam paket “UU Perubahan Peradilan Umum” yakni UU No. 49 Tahun 2009 jis UU No. 8 Tahun 2004, UU No. 2 Tahun 1986, sama sekali tidak dinyatakan atau disebutkan hakim peradilan umum sebagai “pejabat negara” tetapi hanya menyebutnya sebagai “pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan Kehakiman”. Hal sama juga terjadi bagi rekan Hakim Agama, Hakim TUN.


Dengan demikian kedudukan hakim tingkat pertama dan tingkat banding mulai tahun 1999 sampai dengan bulan Mei tahun 2010 ini didudukan sebagai Pejabat Negara. Tentunya masih banyak hakim-hakim terutama di daerah yang tersenyum simpul bahkan bisa dengan sinis dan mencibir ... "Tak ada guna kedudukan sebagai pejabat negara ... karena tidak ada hal prinsipil yang berubah, kehidupan Hakim dan keluarga hakim masih sama .. tak ada yang berubah .. .”

Tetapi rekan-rekan yang masih berdebat mengenai penting tidaknya status pejabat negara di belakang Hakim harus berhenti sejenak berdebat dengan munculnya angin baru yang dihembuskan mengenai status Hakim yakni munculnya RUU Protokol rezim Menteri Hukum dan Ham Republik Indonesia Patrialis Akbar.
RUU Protokol (bisa dicari di google atau bisa saya kirim via email bagi yang berminat, saya sendiri baru kemarin sore dapat dari rekan saya hehehe ) berupaya menghapus kedudukan hakim tingkat pertama dan tingkat banding sebagai pejabat negara, hal ini terlihat dari ketentuan RUU tersebut yakni :

- Pasal 5 huruf e RUU Protokol dengan tegas menyatakan Pejabat negara yaitu e. Ketua dan Hakim Mahkamah Agung; tanpa embel-embel hakim yang berada di bawahnya.

- Pasal 50 huruf b RUU Protokol menyatakan : Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini Pasal 1 Angka 4, Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Padahal Pasal 1 Angka 4, Pasal 11 ayat 1 UU Kepegawaian tersebut yang mendudukan Hakim Tingkat Pertama dan Banding sebagai Pejabat Negara

Aturan RUU terutama Pasal 50 huruf b di atas diangap bisa menjadi duri secara yuridis oleh beberapa pihak dengan dasar pemikiran sebagai berikut :

- Jika RUU Protokol ini benar-benar di undangkan maka rontoklah UU Kepegawaian artinya Hakim Tingkat Pertama dan Banding tidaklah menjadi Pejabat Negara lagi, kepejabat negaraan hakim-hakim tingkat pertama dan banding dieleminir.

- Hal di atas menimbulkan pertanyaan besar ...... apakah memang hal ini yang diinginkan oleh pembuat undang-undang ? ...

- Pertanyaan lanjutannya ? ..jika benar pembuat undang-undang menginginkan cuma Hakim Agung sebagai pejabat negara, apa tujuannya dan mengapa ? ...

- Segala pendapat pasti muncul dari pemikiran rekan-rekan, tergantung dari sudut dan cara kita memandangnya ... tapi alasan ini akan muncul ... apakah angin yang dihembuskan oleh RUU Protokol ini erat kainnya dengan “angin surga” tentang tunjangan pejabat negara ??? ... artinya hakim tingkat pertama dan banding disingkirkan sebagai pejabat negara karena akan adanya aturan tentang tunjangan pejabat negara ?? .... Apakah hal ini berarti pembuat undang-undang / pemerintah dan DPR berkeinginan memberikan tunjangan pejabat negara hanya untuk Hakim Agung ? ... (Asumsi adanya tunjangan Pejabat Negara silahkan dibaca di catatan pertama saya ) ...

Untuk mengeluarkan duri dari RUU tersebut maka yang harus di urai adalah cakupan aturan pencabutan status pejabat Negara tersebut, memang benar secara asas RUU Protokol ini berkeinginan cuma hakim Agung yang menjadi pejabat Negara, akan tetapi benarkah RUU tersebut memberikan implikasi yuridis bisa mencabut status Pejabat Negara Hakim tingkat Pertama dan Banding dibidang Kepegawaian dan Kehakiman ?
Saya berpendapat, memang benar RUU Protokol mencabut ketentuan UU Kepegawaian yang mengatur hakim tingkat Pertama dan Banding sebagai Pejabat Negara, tetapi melihat ruang lingkup pengaturan RUU tersebut sebatas mengenai keprotokolan maka dapat diartikan pencabutan status tersebut hanya sebatas dalam bidang keprotokolan semata, artinya :

- Secara Kepegawaian, Hakim Tingkat Pertama dan Tingkat Banding tetap adalah Pejabat Negara, karena UU Keprotokolan tidaklah dapat mencabut status kepegawaian pegawai negeri. Pencabutan dalam RUU tersebut hanya sebatas dalam bidang protokoler, selagi UU Kepegawaian tidak dirubah sebaliknya maka Hakim Tingkat Pertama dan Banding tetaplah sebagai Pejabat Negara. Artinya secara yuridis status kepegawaian hakim tidak bisa dicabut hanya dengan UU Protokol tetapi harus dicabut/dirubah dengan UU Kepegawaian lagi.

- Secara Kekuasaan Kehakiman, Hakim tingkat pertama dan Banding tetap pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, karena UU Protokol tidaklah dapat mencabut status yang disebutkan UU Kehakiman karena kedua aturan tersebut ruang lingkup pengaturannya sangat berbeda dan keduanya tidak dalam kualitas dapat saling mencabut dan merubah.

Tetapi jika pembuat Draft RUU Protokol tersebut bijak dalam menyikapi hal ini, seharusnya penyebutan status pejabat negara tersebut disesuaikan dengan UU Kepegawaian dan UU Kehakiman, sehingga tidak ada benturan diantara aturan tersebut. Karena disadari atau tidak dengan adanya RUU Protokol tersebut Hakim tingkat Pertama dan Banding bisa menjadi “bunglon” .. yang bisa berubah-rubah statusnya ... tetapi nasibnya tetap sama ... (ini dramatisasi hehehehe... ). Mengapa bunglon ? karena memang tidak jelas status kepegawaiannya yakni Kadang menjadi PNS, kadang bisa menjadi Pejabat Negara. Bahkan lebih runyam lagi jika RUU Protokol disahkan, kadang Hakim Pejabat Negara dan kadang Hakim bukan pejabat negara.

Kebunglonan inilah yang memberikan kenaifan hakim secara yuridis, misalnya kasus sederhana jika 2 (dua) tahun terakhir gaji PNS naik maka sudah 2 (dua) tahun pula gaji pokok hakim tidak naik dengan alasan hakim bukan PNS tapi pejabat negara. Akan tetapi selama 2 (dua) tahun itu pula sebagai Pejabat Negara, hakim (tingkat Pertama dan Banding) sama sekali tidak memperoleh perlakuan layaknya “pejabat negara yang asli” ... baik dari segi gaji, fasilitas maupun bentuk penghargaan lainnya.

Artinya dengan dua status ini bukannya menjadikan Hakim bergigi tajam tetapi malah membuat hakim gigit jari.
Sehingga jika era ke belakang kita mempermasalahkan kepala dan perut, kepala di MA, Perut di Depkeh, Depag, Dephan, maka yang harus disoroti sekarang adalah ketegasan peraturan perundang-undangan tentang status hakim, sebagai “PNS murni” ataukah sebagai “pejabat negara yang asli”, yang diikuti dengan ketegasan aturan tentang penghasilan yang selayaknya diberikan kepada Hakim.

Langkah jangka pendek ke depan berkait dengan adanya RUU Protokol adalah menjaga jangan sampai ASAS dalam RUU PROTOKOL ini benar-benar mengejawantah dalam bentuk UU dan memberikan roh bagi perubahan UU Kepegawaian dan UU Kehakiman dalam bentuk pencabutan status Pejabat Negara bagi Hakim Tingkat Pertama dan Banding, sehingga kita anggota IKAHI akan terkotak-kotak menjadi pejabat negara (Hakim Agung) dan bukan pejabat negara (Hakim selain Hakim Agung), karena pengkotakan tersebut akan menimbulkan gesekan dan implikasi yuridis yang rumit ... (akan dibuatkan catatan khusus tentang hal ini ... jika RUU Protokol ini disahkan, itu juga kalau sempat hehehe...), tapi gesekan utama adalah berkaitan dengan “tunjangan pejabat negara” .. seperti tersebut di atas..

Rekan-rekan sekalian, idealnya tugas kita sebagai Hakim selain memberikan keadilan kepada orang lain juga harus mampu memberikan keadilan bagi diri kita sendiri ... semoga catatan ini mampu memberi nilai lebih untuk semakin memercikan semangat rekan-rekan dalam mengkritisi segala aturan yang dibuat berkaitan dengan kedudukan dan hajat hidup kita sebagai hakim ...


... sehingga sekarang dan ke depan kita semakin mampu bersuara (melalui jalur hukum yang tepat) apabila ada aturan yang memperlakukan tidak adil jabatan kita sebagai Hakim ...


... sehingga sekarang dan ke depan kita mampu tidak hanya duduk tetapi berdiri dengan tegak ketika ada hal yang akan menafikan, memperlemah dan mengkerdilkan kekuasaan kehakiman kita ....


... atas hal inilah saya memberi sub judul catatan ini ..... “siapakah diri anda?” .. Hakim yang bekerja siang malam memberikan keadilan bagi orang lain akan tetapi tidak mampu memperjuangkan dan memberi keadilan bagi diri dan keluarganya sendiri ? ... ataukah Hakim dalam bentuk idealnya ? ....

 

SISI LAIN DARI MARTABAT dan KEWIBAWAAN SANG PENGADIL …

Catatan ini saya buat pada hari Minggu jam 01.48 wita disela-sela melepas kelelahan dan kejenuhan membuat putusan … Ini salah satu contoh kecil betapa “tidak mengenal dan tidak terbatasnya dengan waktu” kerja dan pekerjaan Hakim …… Karena sunyinya malam ..beberapa hal berkelebatan dalam pikiran saya …. Hakim .. keluarga ..mengadili … pengabdian ..martabat dan kewibawaan …celana kolor (berita dikompas tgl 26/3/2011) .. Angkot ..KY..Negara ..tunjangan pejabat Negara … mensyukuri yang ada ….. kongres PSSI (hehehe) …

Akhirnya point catatan ini muncul … framenya adalah hakim mungkin melanggar martabat dan kewibawaannya jika memakai kolor ke warung, akan tetapi jika frame tersebut di pandang lain yakni jika memang hakim terkondisikan untuk memakai kolor atau dalam bentuk luasnya memang terdapat ketidakberdayaan secara finansial dari hakim…

Hakim harus dan WAJIB menjaga MARTABATNYA dan sebaliknya siapapun termasuk pemerintah/legislative harus menghormati dan turut menjaga hal tersebut .. Tidak ada satupun pihak yang boleh mereduksi, dan memarginalkan baik secara terang-terangan maupun terselubung KEMARTABATAN DAN KEWIBAWAAN Hakim tersebut… Hakim secara internal harus berdaya upaya menjaganya … akan tetapi jika memang ada kondisi yang membuat demikian ..apakah yang menciptakan kondisi tersebut bisa dimintai pertanggung jawabannya ..jika dikaitkan dengan “kolor” ..apakah pihak yang menciptakan Hakim tidak berdaya secara finansial dapat dimintai pertanggung jawaban …?

Secara normative sebenarnya “ketidakberdayaan finansial” Hakim sangat tidak mungkin karena menurut UU Kepegawaian dan UU Kekuasaan Kehakiman, seluruh hakim, dari Hakim Agung sampai dengan Hakim tingkat pertama adalah sama yakni Pejabat Negara, meskipun dengan UU pula Hakim “dibunglonkan” dengan status sebagai PNS.

Menurut salah satu aturan yakni UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian (vide pasal 11 ayat 1) dan PP 42 Tahun 2009 “teman-teman atau bahkan bisa dikatakan saudara kandung hakim” adalah Presiden, Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua MK, Menteri, Gubernur atau yang lebih familiar teman Hakim adalah yang terbiasa bertemu pada saat undangan di Pemda yaitu Bupati hehehe ... bayangkanlah Hakim benar-benar di tempatkan ditempat yang terhormat oleh aturan-aturan tersebut, meskipun hal ini lumrah karena agungnya amanah yang diberikan pada jabatan hakim.

Dengan demikian sahlah secara yuridis jika ada prasangka, gaji, pendapatan, fasilitas dan penghargaan terhadap Hakim sama dengan teman-temannya tersebut, minimal tidak jauh beda, maka artinya :

.... tidaklah salah ketika ada prasangka, Hakim hidupnya sangat berkecukupan,

.... tidaklah salah ketika ada prasangka “tidak mungkin” ada Hakim yang memikirkan kurang uang untuk beli susu dan makanan yang bergizi untuk anaknya,

..... tidaklah salah ketika ada prasangka “tidak mungkin” ada Hakim yang pusing memikirkan ongkos pulang kampung waktu hari raya atau pada saat orang tua/keluarganya sakit, meninggal ...

… tidaklah salah ketika ada prasangka “tidak mungkin” ada Hakim yang pusing memikirkan biaya untuk pengobatan dirinya, anaknya, isteri/suaminya atau keluarganya yang sakit …..

.... tidaklah salah ketika ada prasangka “tidak mungkin” ada Hakim masuk Bank dan Pegadaian untuk menggadaikan SK dan barang-barang berharga miliknya demi mendapatkan peningkatan taraf hidupnya atau bahkan demi menyambung hidupnya sehari-hari....

... tidaklah salah ketika ada prasangka “tidak mungkin” ada Hakim masih bimbang antara membeli buku untuk menambah pengetahuannya dengan membeli kebutuhan pokok keluarganya ….

... dan prasangka-prasangka positif lainnya yang menggambarkan “ketidakmungkinan” adanya “ketidakmapanan” pada diri Hakim ...

Akan tetapi realitas tidak selalu berbanding lurus dengan norma … Seluruh Hakim Indonesia saya percaya telah mensyukuri segala pendapatan yang telah diterima sekarang ini … taraf kehidupan Hakim dan keluarga sudah membaik .. akan tetapi realita tetaplah realitia .. dibalik ketegasan, “kestabilan” dan “kemapanan” penampilannya masih terdapat taraf dan kualitas hidup dan kehidupannya Hakim yang mematahkan segala prasangka-prasangka “ketidakmungkinan adanya ketidakmapanan” dalam gambaran YANG SAMA, MENYERUPAI atau bahkan LEBIH MENYEDIHKAN daripada yang digambarkan di atas

Ketidakberdayaan tersebut tercipta karena secara finansial terkondisikan demikian …kebunglonan status Hakim .. kegamangan pemerintah dalam menentukan system penggajian Hakim adalah salah satu pemicunya …

Hakim hanya meminta keadilan bagi dirinya sendiri, hargailah Hakim bukan dilihat dari berapa jam dia di kantor, bukan dilihat dari berapa ribu orang yang dipenjara puluhan tahun atau dihukum mati …. hargailah Hakim dari apa yang diproduksinya ... memproduksi keadilan (menyitir pendapat rekan saya sesama Hakim) .. yang bahannya diramu siang malam, menyita waktu untuk bersama dengan keluarga dan hasilnya terkadang diapresiasi dengan ancaman, sinisme, teriakan dan caci maki ......

Artinya, berilah kejelasan status kepada Hakim, jika negara belum mampu memberikan penghargaan yang sama kepada Hakim dengan “pejabat negara yang asli”, keluarkanlah Hakim dari pejabat negara, dudukanlah sang penguasa kekuasaan kehakiman ini menjadi PNS murni dan tempatkanlah mereka tidak jauh dari kampung halamannya sendiri agar mereka dapat lebih “stabil” hidup dan penghidupannya ....

Rekan-rekan sekalian, belum terlambat rasanya jika kita bersikap untuk mengadili diri kita sendiri ... memberikan dan memperjuangkan keadilan bagi kita dan keluarga ........ berilah masukan positif dan penggambaran realitas yang sebenarnya kepada pembuat kebijakan penggajian pejabat Negara sehingga mereka tidak gamang untuk memasukan seluruh Hakim sebagai salah satu pejabat negara yang harus masuk dalam system penggajian sebagai pejabat Negara …

Dibalik itu semua kami percaya ... tidak ada maksud dan kesengajaan serta kelalaian dari pemerintah untuk menciptakan kondisi dan kegamangan tersebut di atas … kami percaya ini merupakan MASALAH WAKTU untuk Negara mampu mendudukan dan memberi pegangan yang kuat bagi kami HAKIM INDONESIA untuk semakin BERMARTABAT dan BERWIBAWA …. dan sekali lagi ....

saya percaya kondisi sekarang ini tidak menjadikan ALASAN bagi Hakim Indonesia untuk berkeluh kesah, mengeluh dan melalaikan kewajibannya ... karena MATERI bukan syarat mutlak berMARTABAT dan terHORMATnya suatu jabatan ....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KUASA YANG SAH DI SIDANG PENGADILAN (Domain mutlak dari advokat?)

Ada pandangan sejak diundangkannya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat maka setiap orang yang akan menjadi “wakil/kuasa” di persidangan pengadilan baik dalam perkara perdata terutama dalam perkara pidana haruslah orang dalam kualitas sebagai advokat.  Hal tersebut dikarenakan menurut UU No. 18 Tahun 2003 Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum , menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum ( vide Pasal 1 angka 1 jis angka 2 dan angka 3) Pandangan tersebut semakin terlegitimasi dengan adanya ketentuan Pasal 31 UU Advokat yang mengancam pidana bagi orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat. Akan tetapi benarkah demikian ?? Dalam persidangan perdata, Buku

PENDAMPINGAN PENASIHAT HUKUM BAGI ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM

A.     Asas Pendampingan oleh Penasihat Hukum Asas dalam UU Kekuasaan Kehakiman adalah setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum [1] (Pasal 56 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009) dan asas ini diatur ulang dalam Pasal 68B ayat (1) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.  Salah satu bentuk konkrit dari memperoleh bantuan hukum khususnya dalam perkara pidana adalah mendapat pendampingan dari Penasihat Hukum [2] , dimana dalam semua tingkat pemeriksaan Tersangka/Terdakwa berhak didampingi oleh Penasihat Hukum.  Pendampingan Tersangka oleh Penasihat Hukum pada tingkat penyidikan dan penuntutan merupakan hal baru karena baru diatur dalam KUHAP, hal ini sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan KUHAP sebagai berikut : Meskipun Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 telah menetapkan bahwa hanya ada satu hukum acara pidana yang berlaku untuk seluruh Indonesia, yaitu R.I.B, akan tetapi ketentuan yang tercantum di dalamnya ternyata belum memberikan jaminan dan pe

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK BAGIAN 2

BAGIAN 2 No PERIHAL UU SPPA (UU NO. 11 TAHUN 2012) UU PENGADILAN ANAK (UU NO. 3 TAHUN 1997) 1.          Hal yang wajib diperhatikan dalam penangangan perkara anak -   Dalam menangani perkara Anak, Anak Korban, Anak Saksi : 1.        Pembimbing Kemasyarakatan 2.        Pekerja Sosial Profesional 3.        Tenaga Kesejahteraan Sosial 4.        Penyidik 5.        Penuntut Umum 6.        Hakim, 7.        Advokat 8.        Pemberi bantuan hukum lainnya Wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara (Pasal 18) Suasana kekeluargaan misalnya suasana yang membuat Anak nyaman, ramah Anak, serta tidak menimbulkan ketakutan dan tekanan. -   Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim wajib memberikan pelindungan khusus bagi Anak yang diperiksa karena tindak pidana yang dilakukannya dalam situasi darurat ( Pasal 17 ayat 1)