Kamis, 04 September 2014

Hakim

MAAFKAN KAMI JIKA BERLAKU SEPERTI INI ....

Ketika kami diangkat menjadi Hakim dengan SK PRESIDEN maka kami yang berlatar belakang dari keluarga petani, buruh, pensiunan, polisi, tentara, guru, PNS, pengusaha dan lainnya oleh UU Kepegawaian dan Kekuasaan Kehakiman dirubah statusnya menjadi Hakim, PEJABAT NEGARA pemegang kekuasaan kehakiman.  Ketika sumpah sebagai hakim kami ucapkan keadilan adalah yang harus berikan kepada ANDA ..MASYARAKAT, dengan segala kemampuan dan keterbatasan, kami berupaya mewujudkan dan memberikan keadilan tersebut, rasa sakit sering mendera karena kami harus bekerja siang malam bahkan sampai dini hari untuk mempersembahkan “keadilan”, yang kami sadari pasti tidak selamanya memuaskan ANDA semua.

Dibalik rutinitas kami dalam memberikan keadilan, ternyata mulai terasa terpaan ketidakadilan kami rasakan, status kami sebagai PEJABAT NEGARA ternyata tidak dihargai sebaik dengan PEJABAT NEGARA dilingkungan MEREKA, eksekutif dan legislatif.  Jangan tanyakan kepada kami kenapa kami tidak puas dengan pemberian dari negara kepada kami berupa fasilitas 1. kedudukan protokoler, 2. rumah jabatan milik negara; 3. jaminan kesehatan; 4. sarana transportasi milik negara; dan 5. jaminan keamanan dalam melaksanakan tugas, karena kami memang tidak pernah mendapatkannya.

Bahkan hak mendasar kamipun berupa gaji bulanan, kami berat serahkan kepada isteri di rumah karena besaran gaji kami yang secukupnya apalagi setelah dikurangi hutang-hutang ke kanan kiri.  Pilu rasanya menyerahkan uang lembaran ratusan ribu kepada isteri yang seharusnya kami mulyakan, pilu rasanya jika mereka sakit hanya bisa kami bekali kartu askes untuk berobat di puskesmas, pilu rasanya mengizinkan mereka untuk kepegadaian menggadaikan perhiasan yang melekat dibadannya hanya untuk menutupi beban rumah tangga, padahal karena kamilah mereka terbawa ke daerah-daerah terpencil, karena kamilah mereka dijauhkan dari orang tua dan sanak saudaranya, karena kamilah  mereka meradang dikejauhan ketika mendengar orang tuanya sakit, karena kamilah mereka tidak bisa melihat kubur sanak saudaranya, karena kamilah mereka merintih sendirian tanpa ada keluarga ketika melahirkan anak-anak kami, karena kamilah air mata ketakutan dan kecemasan mereka meleleh ketika tahu kami dicaci, dimaki dan diancam karena kami memutus tidak memuaskan semuanya, akan tetapi....  kami ternyata belum mampu memberikan balasan yang layak dan setimpal kepada mereka yang telah berkorban untuk kami...maafkan kami.

Ketidakadilan itu terus kami rasakan dikeseharian, ketika PNS naik gaji, kami tidak karena kami pejabat negara, ketika pejabat negara lain mendapatkan fasilitas kami cuma hanya bisa memandang dikejauhan, kami tahu dan menyadari kami jangan memandang ke atas melihat pejabat negara eksekutif dan legislatif, kami hanyalah pejabat negara kelas ekonomi, terus dan teruslah bekerja, itu yang kami coba lakukan, kami tutup dalam-dalam rasa tersakiti kami karena ketidakdilan tersebut, karena kami sadar kami diberi amanah jabatan hakim bukan untuk mudah berkeluh dan untuk mudah berkesah, kami sadar jabatan kami ini penuh dengan pengabdian meskipun caci maki, fitnah, tekanan menerpa, kami tetap harus sadar bahwa kami telah mengambil sumpah untuk menerima resiko pekerjaan seperti itu.

Akan tetapi, meski kami adalah korp yang sunyi, meski kami terikat kode etik jabatan yang berpatron diam itu emas, tapi kami harus bicara, kami harus keluarkan apa yang kami rasakan, kami harus ungkapkan ketidakadilan yang kami rasakan, karena kami tidak mau lagi MENYAKITI anak isteri kami, karena kediaman kami, nasib mereka tak tentu, karena kediaman kami mereka tak mendapatkan kemulyaan hidup selayaknya istri dan anak dari seorang hakim.  Maafkan kami, jika kami tidak ingin lagi melihat isteri kami harus ikut membanting tulang membantu menjalankan roda perekonomian keluarga, maafkan kami jika kami tidak ingin melihat mereka harus berjualan baju, kue, menjajakan barang dagangan dari satu pintu ke pintu lain hanya untuk menutupi kekurangan gaji bulanan kami ... maafkan kami jika kami bersuara sekarang, meskipun kami dicap TELMI dan menjual kemiskinan untuk menyuarakan ketidakadilan ini, kami terima, karena memang kami terlalu banyak pertimbangan hanya untuk mengeluarkan ini.

Kami yang dituntut dan terbiasa berpikir dengan penuh pertimbangan, harus memilih menyuarakan kesakitan kami ini, kami menyadari pilihan yang kami ambil akan sulit diterima oleh ANDA .. masyarakat, karena hal yang muskil hal-hal yang kami terima dan rasakan selama ini terjadi pada seseorang berstatus hakim, tidak mungkin ada ketidakmapanan dari hakim, tidak mungkin negara kita yang merupakan negara hukum sengaja atau lalai menyakiti hakim yang merupakan pilar dari  negara hukum.  Kami bisa menerima sepenuhnya pernyataan dari ANDA ,,masyarakat, jika kami menyuarakan kesakitan ini hanya terbungkus kerakusan, kami bisa menerima sepenuhnya pernyataan dari ANDA, jika kami ini tidak etis dan tidak mensyukuri penghasilan yang ada padahal masih banyak dari ANDA..masyarakat yang masih hidup jauh lebih sulit dibanding kami ... kami bisa merasakan rasa kesakitan ANDA, ditengah kesulitan hidup ini kami malah menyuarakan hal yang akan menyakiti ANDA ... karena ANDA dan kami sama .. kita sering tersakiti dan kita sering merasakan ketidakadilan ....karena kami sama dengan ANDA,  tidak pandai berpolitik dan tidak pandai memasang muka dua.

Maafkan kami ....., jika hari ini ...saat ini kami menuntut hak-hak mendasar kami, hak-hak dasar yang seharusnya diterima oleh anak istri kami  dari negara .... gaji bulanan dan fasilitas yang memang harus diberikan kepada kami ... kami tidak menuntut yang bukan hak kami .. kami tidak menuntut untuk studi banding keluar negeri, kami tidak menuntut untuk merenovasi wc kami, kami tidak menuntut untuk membangun secara fantastis tempat kerja kami .. kami hanya menuntut apa yang menjadi hak kami yang dimuat di UU ...yang dibuat oleh MEREKA, eksekutif dan legislatif.

Maafkan kami ... jika hari ini .. saat ini kami meminta keadilan kepada negara ... untuk mendudukan kami sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang berwibawa ..

Maafkan kami ..jika permintaan keadillan kami ini menyakiti ANDA ... yang sebenarnya banyak yang lebih tidak beruntung dari kami ..

Maafkan kami ... jika hanya untuk menyadarkan  MEREKA bahwa kami ada dan bermakna .. kami harus berbuat seolah tidak mau melayani ANDA ...

Maafkan kami ..jika kami harus bicara padahal seharusnya kami harus banyak duduk diam dan banyak bekerja untuk membersihkan muka kami yang terkadang dicap kotor oleh MEREKA ...

Semoga apa yang kami suarakan nantinya bisa mengangkat kesakitan yang ANDA rasakan karena kami bermaktub dalam hati, kami sering merasakan ketidakadilan maka kami tidak akan menyakiti rasa keadilan ANDA.... semoga kesakitan kami bisa menjadikan kami lebih peka dengan ketidakadilan, semoga kesakitan kami ini bisa memberikan arti lebih kepada ANDA... memberikan kepada anda HAKIM yang AGUNG .......  yang tidak memikirkan lagi perut dan keselamatan anak isteri ketika kami bekerja untuk ANDA.....





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pra Peradilan dan Permasalahannya

Catatan tentang Istilah,  Biaya Perkara,  Materi dan Acara Pemeriksaan   Praperadilan A. Istilah  Permasalahan pertama yang terlihat se...