Rabu, 04 Maret 2020

ASPEK YURIDIS DARI PENYADAPAN



Hehamahua: Jangan Batasi Penyadapan KPK


Penyadapan : pembatasan hak pribadi melalui undang-undang.

Akhir-akhir ini istilah penyadapan atau intersepsi menjadi hal yang biasa diucapkan dan lumrah didengar di tengah-tengah masyarakat  terutama setelah kemunculan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dengan berbagai problematikanya.  Padahal KUHP yang berlaku sejak tahun 1918 sampai dengan sekarang tidak mengenal bentuk tindak pidana “penyadapan”, sehingga dalam KUHP sama sekali tidak didapat pengertian yuridis dari “penyadapan” itu sendiri.  Setali tiga uang dengan Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP), yang diundangkan tahun 1981 juga sama sekali tidak mengenal lembaga penyadapan dalam proses penyelidikan, penyidikan dan persidangan suatu tindak pidana.
Meskipun KUHP dan KUHAP tidak mengaturnya ternyata penyadapan telah terbentuk dalam beberapa aturan perundang-undangan, bahkan UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dalam aturannya melarang dengan tegas setiap orang untuk melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun (Pasal 40), dimana penyadapan tersebut terwujud dalam bentuk kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki oleh seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang.
Dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektonik (UU ITE) juga dinyatakan larangan bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain (Pasal 31 ayat 1).  Ketentuan ini merujuk pada Pasal 31 ayat (3) yang menyatakan ,“Kecuali intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.”   Dengan demikian kegiatan penyadapan yang dilarang adalah jika ditujukan bukan untuk kepentingan publik atau ditujukan untuk kepentingan pribadi atau perseorangan sehingga kegiatan penyadapan oleh penegak hukum untuk kepentingan penegakan hukum (bersifat publik) tidak dilarang. 
Lebih lanjut UUD 1945 juga memberikan dasar konstitusional bagi adanya pembatasan hak pribadi seseorang i.c. dalam bentuk penyadapan sebagaimana tersebut dalam PasaI 28 J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.   
Terlihat dengan jelas UUD 1945 memberikan syarat mutlak bagi adanya pembatasan hak dan kebebasan pribadi seseorang yakni harus ditetapkan dengan undang-undang, hal ini bisa dibandingkan dengan wacana yang berkembang saat ini tentang rencana pemerintah c.q Depkominfo yang akan mengatur mengenai penyadapan dalam bentuk Peraturan Pemerintah.

Aspek materiil dari Penyadapan : dikenal dalam beberapa undang-undang.

Salah satu asas mendasar yang diatur dalam UU Kehakiman (UU No. 48 Tahun 2009) adalah “Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang” (Vide Pasal 7).  Dimana yang dimaksud dengan “kekuasaan yang sah” adalah aparat penegak hukum yang berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan undang-undang. Dalam proses penyelidikan dan penyidikan ini termasuk juga di dalamnya penyadapan. 
Dari ketentuan Pasal 7 tersebut ternyata UU Kehakiman “menyelipkan” penyadapan merupakan sub bagian dari proses penyelidikan dan Penyidikan, padahal seperti tersebut di atas hukum acara pidana indonesia (KUHAP) sama sekali tidak mengenal lembaga dari “penyadapan”.
Kemunculan penyadapan sebagai aturan khusus sebenarnya mulai secara normatif dikenal pada tahun 1997 ketika diundangkannya UU Psikotropika (UU No. 5 Tahun 1997) yang berlaku mulai berlaku tanggal 11 Maret 1997dan UU Narkotika lama (UU No. 22 Tahun 1997) yang berlaku mulai tanggal 01 September 1997.
Dalam Pasal 55 UU Psikotropika ditentukan bahwa penyidik diperbolehkan melakukan penyadapan terhadap, pembicaraan melalui telepon dan/atau alat telekomunikasi elektronika lainnya yang dilakukan oleh orang yang dicurigai atau diduga keras membicarakan masalah yang berhubungan dengan tindak pidana psikotropika. Jangka waktu penyadapan berlangsung untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari dan penyadapan pembicaraan tersebut hanya dapat dilakukan atas perintah tertulis Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat yang ditunjuknya (Penjelasan Pasal 55).
Kewenangan melakukan penyadapan juga diberikan kepada penyidik dalam UU Narkotika lama yakni UU No. 22 Tahun 1997 (Pasal 66 ayat 2) penyadapan mana hanya dapat dilakukan atas izin tertulis dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat yang ditunjuknya, bahkan UU Narkotika lama ini memberikan batasan dari penyadapan sebagai kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan cara melakukan penyadapan pembicaraan melalui telepon dan atau alat komunikasi elektronika lainnya (Pasal 1 angka 18)
Lebih lanjut kemudian ada beberapa aturan UU menyebutkan “penyadapan” dalam aturannya yakni diantaranya :
§   Dalam Penjelasan Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) menyatakan Kewenangan penyidik dalam Pasal ini termasuk wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretaping).
§   Dalam Pasal 42 ayat (2) UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi menentukan bahwa, untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas: (a). Permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu. (b) Permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
§     Dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Terorisme kewenangan penyidik adalah b. menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme
§    Dalam Pasal 12 ayat 1 UU No. 30 Tahun 2002 Tetang Komisi Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi (UU KPK) dinyatakan “ Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
Berbeda dengan UU Narkotika tahun 1997,  ternyata  dalam UU PTPK, UU KPK, UU terorisme dan UU Telekomunikasi  sama sekali tidak memberikan aturan mengenai pengertian yuridis dari “penyadapan”, sehingga secara normatif tidak ada batasan resmi dan formal dari penyadapan itu sendiri.  Bahkan khusus dalam perkara tindak pidana korupsi ternyata istilah “penyadapan” bukan berasal dari ketentuan pasal UU PTPK tetapi hanya dimuat dalam penjelasan pasalnya. Lebih lanjut dalam UU PTPK dan UU KPK tidak terlihat ada rincian tata cara penyadapan, lebih khusus tidak diatur mengenai harus ada atau tidaknya izin dari pihak pengadilan untuk pelaksanaan penyadapan itu sendiri.
Dalam UU Terorisme dibandingkan UU PTPK dan UU KPK  ada hal lain yakni dengan diaturnya tata cara penyadapan yakni dengan adanya ketentuan Pasal 31 ayat (2) dan (3) yakni:
(2)   Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik.
Dengan demikian UU terorisme memberikan batasan dari tata cara penyadapan itu sendiri yakni:
§  Harus atas perintah Ketua Pengadilan Negeri (KPN)
§  Jangka waktu penyadapan paling lama 1 (satu) tahun.
§  Harus dilaporkan kepada atasan penyidik yang melakukan penyadapan.
Dari adanya kewenangan KPN dalam masalah penyadapan, terlihat UU Terorisme menekankan status yuridis penyadapan disesuaikan dengan lembaga lain dalam penyidikan yakni penggeledahan dan penyitaan, yakni mensyaratkan adanya campur tangan dari Pengadilan c.q Ketua Pengadilan Negeri dalam bentuk izin, yang dalam UU Terorisme berbentuk “perintah”.  Dimana sebagaimana ternyata dalam KUHAP, izin dari ketua pengadilan berkaiatan dengan penggeledahan dan penyitaan berbentuk :
§  Surat Izin penggeledahan (Pasal 33 ayat 1 KUHAP)
§  Surat persetujuan penggeledahan (Pasal 34 ayat 2 KUHAP)
§  Surat izin penyitaan (Pasal 38 ayat 1 KUHAP)
§  Surat persetujuan  penyitaan (Pasal 38 ayat 2 KUHAP).
§  Surat izin khusus Ketua Pengadilan Negeri untuk :
-  Penyitaan surat/tulisan dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya (Pasal 43 KUHAP).
-        Pemeriksaan surat (Pasal 47 ayat 1 KUHAP)
Nyata jika melihat dan mencermati aturan-aturan tentang penyadapan tersebut di atas terlihat perbedaan aturan yang mencolok, isi pengaturan yang sangat minim dan riskan terjadi pendistorsian dalam pelaksanaannya di lapangan.  Karenanya baru pada tahun 2009 terlihat pembuat UU mulai menyadari perlunya pengaturan “penyadapan” secara terperinci hal ini bisa terbaca dari aturan-aturan yang tersebut dalam UU Narkotika (UU No. 35 Tahun 2009) dan UU Pengadilan Tipikor (UU No. 46 Tahun 2009).
Dalam UU Narkotika bahkan lebih maju dari undang-undang manapun yang mengenalkan penyadapan yakni dengan memberikan batasan mengenai penyadapan sebagai kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat komunikasi elektronik lainnya (Vide Pasal 1 angka 19).  Dalam penjelasan umumnya, penyadapan ini dikatakan sebagai “suatu teknik penyidikan” untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih.
Lebih lanjut yang berhak melakukan penyadapan dalam tindak pidana Narkotika adalah penyidik BNN (Pasal 75 huruf i), penjelasan pasalnya menyatakan “penyadapan” adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh penyidik BNN atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan cara menggunakan alat-alat elektronik sesuai dengan kemajuan teknologi terhadap pembicaraan dan/atau pengiriman pesan melalui telepon atau alat komunikasi elektronik lainnya.  Termasuk di dalam penyadapan adalah pemantauan elektronik dengan cara antara lain:
a.  pemasangan transmitter di ruangan/kamar sasaran untuk mendengar/merekam semua pembicaraan (bugging);
b.     pemasangan transmitter pada mobil/orang/barang yang bisa dilacak keberadaanya (bird dog);
c.     intersepsi internet;
d.     cloning pager, pelayan layanan singkat (SMS), dan fax;
e.     CCTV (Close Circuit Television);
f.      pelacak lokasi tersangka (direction finder).
Hal penting dari ketentuan Pasal 75 UU Narkotika adalah batasan dari objek yang disadap yakni :-  harus terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dan setelah terdapat bukti awal yang cukup. Hal ini semakin dikuatkan dengan ketentuan Pasal 77 ayat (1) bahwa Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf i dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak surat penyadapan diterima penyidik.
Ketentuan di atas menimbulkan pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan “surat penyadapan”, ternyata jika kita membaca ketentuan pasal 77 ayat (2) bahwa Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilaksanakan atas izin tertulis dari ketua pengadilan, maka “surat penyadapan” adalah surat izin penyadapan dari Ketua Pengadilan Negeri.
Ketentuan lebih khusus dari penyadapan dalam tindak pidana narkotika adalah :
§      Penyadapan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama (Pasal 77 ayat (3).
§   Dalam keadaan mendesak dan Penyidik harus melakukan penyadapan, penyadapan dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari ketua pengadilan negeri lebih dahulu (Pasal 78 ayat (1))
§   Dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam Penyidik wajib meminta izin tertulis kepada ketua pengadilan negeri mengenai penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (Pasal 78 ayat (2).
Demikianlah UU Narkotika memberikan aturan rinci dari penyadapan yakni :
§       Penyadapan dilakukan jika telah ada bukti cukup.
§   Izin penyadapan dari ketua Pengadilan Negeri dalam dua bentuk yakni izin Penyadapan dan surat persetujuan penyadapan.
§      Penyadapan dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan maksimal 6 (enam) bulan sejak surat penyadapan diterima penyidik.

Aspek formil dari Penyadapan :  Syarat sahnya suatu penyadapan:

Dari beberapa aturan ternyata penyadapan dikenal dalam penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana, dimana hasil penyadapan itu sendiri nantinya akan berwujud menjadi suatu alat bukti yang akan diajukan ke persidangan. 
Dalam perkara tindak pidana korupsi, hasil penyadapan ini terakomodasi menjadi alat bukti dengan adanya ketentuan Pasal 26 a UU No.20 tahun 2001 yang menentukan bahwa, alat bukti dalam hubungannya dengan Pasal 188 ayat (2) KUHAP khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : (a) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. (b). Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Selanjutnya dalam perkara tindak pidana korupsi ada “wadah yuridis” untuk menampung hasil “penyadapan” dalam teknis di persidangan yakni dalam UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 46 Tahun 2009).  Dimana menurut penjelasan Umum UU Pengadilan Tipikor, Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya dilakukan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Kekhususan hukum acara tersebut antara lain mengatur alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penekanan dari “harus diperoleh secara sahnya penyadapan” adalah karena adanya aturan Pasal 28 ayat (1) yang menyatakan “Semua alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan, harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”, penjelasan pasalnya menyatakan penyadapan sebagai alat bukti hanya dapat dilakukan terhadap seseorang apabila ada dugaan berdasarkan laporan telah dan/atau akan terjadi tindak pidana korupsi.
Terlihat jika membaca ketentuan tersebut syarat sahnya dari “penyadapan” dalam tindak pidana korupsi adalah :
§        Harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
§     Penyadapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang apabila ada dugaan berdasarkan laporan telah dan/atau akan terjadi tindak pidana korupsi
Dalam UU Pengadilan Tipikor tidak menyebut sama sekali izin atau persetujuan dari KPN sebagai salah syarat sahnya suatu penyadapan dan hal ini sesuai dengan UU PTPK dan UU KPK yang sama sekali tidak mengenal izin pengadilan dalam penyadapan. 
Lebih lanjut dari ketentuan Pasal 28 ayat (2) pihak yang menentukan sah tidaknya alat bukti yang diajukan di muka persidangan baik yang diajukan oleh penuntut umum maupun oleh Terdakwa, termasuk di dalamnya hasil penyadapan adalah hakim.  Dengan demikian sekali lagi Hakim diberikan beban yuridis oleh pembuat UU untuk menentukan keabsahan dari “hasil penyadapan” dalam tindak pidana korupsi dengan batasan-batasan yuridis sahnya suatu penyadapan yang minim.

Ijin Pengadilan untuk penyadapan : Bukan barang tabu

Dari penelaahan beberapa aturan perundang-undangan terlihat ada kesamaan dan sekaligus perbedaan aturan yang mencolok yakni :
§  Persamaannya :
UU PTPK, UU KPK, UU Pengadilan Tipikor, UU Narkotika, UU Psikotropika, UU Terorisme menyatakan “penyadapan” merupakan bagian dari penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana.
§  Perbedaannya :
Dari izin pemberian dari penyadapan itu sendiri :
-    UU PTPK, UU KPK, UU Pengadilan Tipikor, tidak diatur mengenai keharusan penyadapan perlu izin atau perintah dari pihak manapun termasuk dari Ketua Pengadilan Negeri.
-      UU Terorisme, penyadapan harus dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri.
-       UU Narkotika, penyadapan dilakukan atas izin dari Ketua Pengadilan dan jika telah dilakukan bisa minta persetujuan penyadapan.
-  UU Psikotropika, penyadapan dilakukan atas atas perintah tertulis Kapolri atau pejabat yang ditunjuknya
Terlihat “izin pengadilan c.q Ketua Pengadilan Negeri” menjadi titik pembeda,  tetapi jika dikaitkan dengan “penyadapan” merupakan bagian dari penyelidikan, penyidikan suatu tindak pidana maka seharusnya penyadapan juga harus senada dan sejiwa dengan lembaga-lemabaga hukum lain dalam penyelidikan dan penyidikan yakni penggeledahan dan penyitaan yakni perlu adanya izin Pengadilan.
Sehingga kalau ada wacana penyadapan harus ada izin pengadilan bukan merupakan barang tabu dan bukan hal yang bertentangan dengan hukum bahkan praktek selama ini “izin pengadilan” bukanlah sesuatu yang menghambat proses penanganan perkara (terutama dengan adanya lembaga izin persetujuan telah dilakukan penyadapan) bahkan ijin pengadilan mempunyai nilai lebih dan nilai positif yakni adanya lembaga penilai dan penyeimbang antara kewenangan penyidik dan hak asasi manusia c.q orang yang disadap. 

Pra Peradilan dan Permasalahannya

Catatan tentang Istilah,  Biaya Perkara,  Materi dan Acara Pemeriksaan   Praperadilan A. Istilah  Permasalahan pertama yang terlihat se...