Penyadapan : pembatasan hak pribadi melalui undang-undang.
Akhir-akhir
ini istilah penyadapan atau intersepsi menjadi hal yang biasa diucapkan dan
lumrah didengar di tengah-tengah masyarakat terutama setelah kemunculan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dengan berbagai problematikanya. Padahal KUHP yang berlaku sejak tahun 1918
sampai dengan sekarang tidak mengenal bentuk tindak pidana “penyadapan”,
sehingga dalam KUHP sama sekali tidak didapat pengertian yuridis dari
“penyadapan” itu sendiri. Setali tiga
uang dengan Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP), yang diundangkan tahun 1981
juga sama sekali tidak mengenal lembaga penyadapan dalam proses penyelidikan,
penyidikan dan persidangan suatu tindak pidana.
Meskipun
KUHP dan KUHAP tidak mengaturnya ternyata penyadapan telah terbentuk dalam
beberapa aturan perundang-undangan, bahkan UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi dalam aturannya melarang dengan tegas setiap orang untuk
melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan
telekomunikasi dalam bentuk apapun (Pasal 40), dimana penyadapan tersebut
terwujud dalam bentuk kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada
jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak
sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki oleh seseorang adalah hak pribadi
yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang.
Dalam UU
No. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektonik (UU ITE) juga
dinyatakan larangan bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu
milik Orang lain (Pasal 31 ayat 1). Ketentuan
ini merujuk pada Pasal 31 ayat (3) yang menyatakan ,“Kecuali intersepsi yang
dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan,
dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan
undang-undang.” Dengan demikian kegiatan
penyadapan yang dilarang adalah jika ditujukan bukan untuk kepentingan publik
atau ditujukan untuk kepentingan pribadi atau perseorangan sehingga kegiatan
penyadapan oleh penegak hukum untuk kepentingan penegakan hukum (bersifat
publik) tidak dilarang.
Lebih
lanjut UUD 1945 juga memberikan dasar konstitusional bagi adanya pembatasan hak
pribadi seseorang i.c. dalam bentuk penyadapan sebagaimana tersebut dalam PasaI
28 J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis”.
Terlihat
dengan jelas UUD 1945 memberikan syarat mutlak bagi adanya pembatasan hak dan
kebebasan pribadi seseorang yakni harus ditetapkan dengan undang-undang, hal
ini bisa dibandingkan dengan wacana yang berkembang saat ini tentang rencana
pemerintah c.q Depkominfo yang akan mengatur mengenai penyadapan dalam bentuk
Peraturan Pemerintah.
Aspek materiil dari Penyadapan : dikenal dalam beberapa undang-undang.
Salah satu
asas mendasar yang diatur dalam UU Kehakiman (UU No. 48 Tahun 2009) adalah “Tidak seorang pun dapat dikenakan
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah
tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang” (Vide Pasal 7).
Dimana yang dimaksud dengan “kekuasaan yang sah” adalah aparat penegak hukum
yang berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan undang-undang.
Dalam proses penyelidikan dan penyidikan ini termasuk juga di dalamnya
penyadapan.
Dari
ketentuan Pasal 7 tersebut ternyata UU Kehakiman “menyelipkan” penyadapan
merupakan sub bagian dari proses penyelidikan dan Penyidikan, padahal seperti
tersebut di atas hukum acara pidana indonesia (KUHAP) sama sekali tidak
mengenal lembaga dari “penyadapan”.
Kemunculan penyadapan
sebagai aturan khusus sebenarnya mulai secara normatif dikenal pada tahun 1997
ketika diundangkannya UU Psikotropika (UU No. 5 Tahun 1997) yang berlaku mulai
berlaku tanggal 11 Maret 1997dan UU Narkotika lama (UU No. 22 Tahun 1997) yang
berlaku mulai tanggal 01 September 1997.
Dalam Pasal
55 UU Psikotropika ditentukan bahwa penyidik diperbolehkan melakukan penyadapan
terhadap, pembicaraan melalui telepon dan/atau alat telekomunikasi elektronika
lainnya yang dilakukan oleh orang yang dicurigai atau diduga keras membicarakan
masalah yang berhubungan dengan tindak pidana psikotropika. Jangka waktu
penyadapan berlangsung untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari dan penyadapan
pembicaraan tersebut hanya dapat dilakukan atas perintah tertulis Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat yang ditunjuknya (Penjelasan
Pasal 55).
Kewenangan
melakukan penyadapan juga diberikan kepada penyidik dalam UU Narkotika lama
yakni UU No. 22 Tahun 1997 (Pasal 66 ayat 2) penyadapan mana hanya dapat
dilakukan atas izin tertulis dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
atau pejabat yang ditunjuknya, bahkan UU
Narkotika lama ini memberikan batasan dari penyadapan sebagai kegiatan atau
serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan cara melakukan
penyadapan pembicaraan melalui telepon dan atau alat komunikasi elektronika
lainnya (Pasal 1 angka 18)
Lebih
lanjut kemudian ada beberapa aturan UU menyebutkan “penyadapan” dalam aturannya
yakni diantaranya :
§ Dalam Penjelasan Pasal 26 UU No. 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) menyatakan
Kewenangan penyidik dalam Pasal ini termasuk wewenang untuk melakukan
penyadapan (wiretaping).
§ Dalam Pasal 42 ayat (2) UU No.36 Tahun
1999 tentang Telekomunikasi menentukan bahwa, untuk keperluan proses peradilan
pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim
dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan
informasi yang diperlukan atas: (a). Permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau
Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu. (b)
Permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang
yang berlaku.
§ Dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Terorisme kewenangan
penyidik adalah b. menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat
komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan
melakukan tindak pidana terorisme
§ Dalam Pasal 12 ayat 1 UU No. 30 Tahun 2002
Tetang Komisi Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi (UU KPK) dinyatakan “ Dalam
melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a.
melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
Berbeda
dengan UU Narkotika tahun 1997, ternyata dalam UU PTPK, UU KPK, UU terorisme dan UU Telekomunikasi sama sekali tidak memberikan aturan mengenai pengertian
yuridis dari “penyadapan”, sehingga secara normatif tidak ada batasan resmi dan
formal dari penyadapan itu sendiri.
Bahkan khusus dalam perkara tindak pidana korupsi ternyata istilah “penyadapan”
bukan berasal dari ketentuan pasal UU PTPK tetapi hanya dimuat dalam penjelasan
pasalnya. Lebih lanjut dalam UU PTPK dan UU KPK tidak terlihat ada rincian tata
cara penyadapan, lebih khusus tidak diatur mengenai harus ada atau tidaknya
izin dari pihak pengadilan untuk pelaksanaan penyadapan itu sendiri.
Dalam UU
Terorisme dibandingkan UU PTPK dan UU KPK
ada hal lain yakni dengan diaturnya tata cara penyadapan yakni dengan
adanya ketentuan Pasal 31 ayat (2) dan (3) yakni:
(2) Tindakan
penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, hanya dapat dilakukan
atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)
tahun.
(3) Tindakan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus dilaporkan atau
dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik.
Dengan
demikian UU terorisme memberikan batasan dari tata cara penyadapan itu sendiri
yakni:
§ Harus atas perintah Ketua
Pengadilan Negeri (KPN)
§ Jangka waktu penyadapan paling lama 1
(satu) tahun.
§ Harus dilaporkan kepada atasan penyidik
yang melakukan penyadapan.
Dari adanya
kewenangan KPN dalam masalah penyadapan, terlihat UU Terorisme menekankan status
yuridis penyadapan disesuaikan dengan lembaga lain dalam penyidikan yakni penggeledahan
dan penyitaan, yakni mensyaratkan adanya campur tangan dari Pengadilan c.q
Ketua Pengadilan Negeri dalam bentuk izin, yang dalam UU Terorisme berbentuk
“perintah”. Dimana sebagaimana ternyata
dalam KUHAP, izin dari ketua pengadilan berkaiatan dengan penggeledahan dan
penyitaan berbentuk :
§ Surat Izin penggeledahan (Pasal 33 ayat 1
KUHAP)
§ Surat persetujuan penggeledahan (Pasal 34
ayat 2 KUHAP)
§ Surat izin penyitaan (Pasal 38 ayat 1
KUHAP)
§ Surat persetujuan penyitaan (Pasal 38 ayat 2 KUHAP).
§ Surat izin khusus Ketua Pengadilan Negeri
untuk :
- Penyitaan
surat/tulisan dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya (Pasal 43 KUHAP).
- Pemeriksaan
surat (Pasal 47 ayat 1 KUHAP)
Nyata jika
melihat dan mencermati aturan-aturan tentang penyadapan tersebut di atas
terlihat perbedaan aturan yang mencolok, isi pengaturan yang sangat minim dan
riskan terjadi pendistorsian dalam pelaksanaannya di lapangan. Karenanya baru pada tahun 2009 terlihat
pembuat UU mulai menyadari perlunya pengaturan “penyadapan” secara terperinci
hal ini bisa terbaca dari aturan-aturan yang tersebut dalam UU Narkotika (UU
No. 35 Tahun 2009) dan UU Pengadilan Tipikor (UU No. 46 Tahun 2009).
Dalam UU
Narkotika bahkan lebih maju dari undang-undang manapun yang mengenalkan penyadapan
yakni dengan memberikan batasan mengenai penyadapan sebagai kegiatan atau
serangkaian kegiatan penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap
pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan komunikasi yang dilakukan
melalui telepon dan/atau alat komunikasi elektronik lainnya (Vide Pasal 1 angka
19). Dalam penjelasan umumnya, penyadapan
ini dikatakan sebagai “suatu teknik penyidikan” untuk mencegah dan memberantas
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus
operandinya semakin canggih.
Lebih
lanjut yang berhak melakukan penyadapan dalam tindak pidana Narkotika adalah
penyidik BNN (Pasal 75 huruf i), penjelasan pasalnya menyatakan “penyadapan” adalah
kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang
dilakukan oleh penyidik BNN atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
dengan cara menggunakan alat-alat elektronik sesuai dengan kemajuan teknologi
terhadap pembicaraan dan/atau pengiriman pesan melalui telepon atau alat komunikasi
elektronik lainnya. Termasuk di dalam
penyadapan adalah pemantauan elektronik dengan cara antara lain:
a. pemasangan
transmitter di ruangan/kamar sasaran untuk mendengar/merekam semua pembicaraan (bugging);
b.
pemasangan
transmitter pada mobil/orang/barang yang bisa dilacak keberadaanya (bird dog);
c.
intersepsi
internet;
d.
cloning pager, pelayan layanan singkat (SMS), dan fax;
e.
CCTV (Close Circuit Television);
f.
pelacak
lokasi tersangka (direction finder).
Hal penting
dari ketentuan Pasal 75 UU Narkotika adalah batasan dari objek yang disadap
yakni :- harus terkait dengan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dan
setelah terdapat bukti awal yang cukup. Hal ini semakin dikuatkan dengan
ketentuan Pasal 77 ayat (1) bahwa Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
75 huruf i dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan
dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak surat penyadapan diterima
penyidik.
Ketentuan
di atas menimbulkan pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan “surat penyadapan”,
ternyata jika kita membaca ketentuan pasal 77 ayat (2) bahwa Penyadapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilaksanakan atas izin tertulis dari
ketua pengadilan, maka “surat penyadapan” adalah surat izin penyadapan dari
Ketua Pengadilan Negeri.
Ketentuan
lebih khusus dari penyadapan dalam tindak pidana narkotika adalah :
§
Penyadapan
dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama (Pasal 77 ayat
(3).
§ Dalam
keadaan mendesak dan Penyidik harus melakukan penyadapan, penyadapan dapat
dilakukan tanpa izin tertulis dari ketua pengadilan negeri lebih dahulu (Pasal
78 ayat (1))
§ Dalam
waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam Penyidik wajib meminta
izin tertulis kepada ketua pengadilan negeri mengenai penyadapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) (Pasal 78 ayat (2).
Demikianlah
UU Narkotika memberikan aturan rinci dari penyadapan yakni :
§ Penyadapan
dilakukan jika telah ada bukti cukup.
§ Izin penyadapan
dari ketua Pengadilan Negeri dalam dua bentuk yakni izin Penyadapan dan surat persetujuan
penyadapan.
§
Penyadapan
dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan maksimal 6
(enam) bulan sejak surat penyadapan diterima penyidik.
Aspek formil dari Penyadapan : Syarat sahnya suatu penyadapan:
Dari beberapa
aturan ternyata penyadapan dikenal dalam penyelidikan dan penyidikan suatu
tindak pidana, dimana hasil penyadapan itu sendiri nantinya akan berwujud
menjadi suatu alat bukti yang akan diajukan ke persidangan.
Dalam
perkara tindak pidana korupsi, hasil penyadapan ini terakomodasi menjadi alat
bukti dengan adanya ketentuan Pasal 26 a UU No.20 tahun 2001 yang menentukan
bahwa, alat bukti dalam hubungannya dengan Pasal 188 ayat (2) KUHAP khusus
untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : (a) Alat bukti lain
yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. (b). Dokumen, yakni
setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar
yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam
secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Selanjutnya
dalam perkara tindak pidana korupsi ada “wadah yuridis” untuk menampung hasil
“penyadapan” dalam teknis di persidangan yakni dalam UU Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi (UU No. 46 Tahun 2009). Dimana
menurut penjelasan Umum UU Pengadilan Tipikor, Hukum acara yang digunakan dalam
pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya dilakukan
sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang
ini. Kekhususan hukum acara tersebut antara lain mengatur alat bukti yang
diajukan di dalam persidangan, termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil
penyadapan harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Penekanan
dari “harus diperoleh secara sahnya penyadapan” adalah karena adanya aturan
Pasal 28 ayat (1) yang menyatakan “Semua alat bukti yang diajukan di dalam
persidangan, termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan, harus
diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”,
penjelasan pasalnya menyatakan penyadapan sebagai alat bukti hanya dapat
dilakukan terhadap seseorang apabila ada dugaan berdasarkan laporan telah
dan/atau akan terjadi tindak pidana korupsi.
Terlihat
jika membaca ketentuan tersebut syarat sahnya dari “penyadapan” dalam tindak
pidana korupsi adalah :
§
Harus
diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
§ Penyadapan
hanya dapat dilakukan terhadap seseorang apabila ada dugaan berdasarkan laporan
telah dan/atau akan terjadi tindak pidana korupsi
Dalam UU
Pengadilan Tipikor tidak menyebut sama sekali izin atau persetujuan dari KPN
sebagai salah syarat sahnya suatu penyadapan dan hal ini sesuai dengan UU PTPK dan
UU KPK yang sama sekali tidak mengenal izin pengadilan dalam penyadapan.
Lebih
lanjut dari ketentuan Pasal 28 ayat (2) pihak yang menentukan sah tidaknya alat
bukti yang diajukan di muka persidangan baik yang diajukan oleh penuntut umum
maupun oleh Terdakwa, termasuk di dalamnya hasil penyadapan adalah hakim. Dengan demikian sekali lagi Hakim diberikan
beban yuridis oleh pembuat UU untuk menentukan keabsahan dari “hasil penyadapan”
dalam tindak pidana korupsi dengan batasan-batasan yuridis sahnya suatu
penyadapan yang minim.
Ijin Pengadilan untuk penyadapan : Bukan barang tabu
Dari
penelaahan beberapa aturan perundang-undangan terlihat ada kesamaan dan
sekaligus perbedaan aturan yang mencolok yakni :
§
Persamaannya
:
UU PTPK,
UU KPK, UU Pengadilan Tipikor, UU Narkotika, UU Psikotropika, UU Terorisme
menyatakan “penyadapan” merupakan bagian dari penyelidikan dan penyidikan suatu
tindak pidana.
§
Perbedaannya
:
Dari izin pemberian dari penyadapan itu
sendiri :
-
UU PTPK,
UU KPK, UU Pengadilan Tipikor, tidak diatur mengenai keharusan penyadapan perlu
izin atau perintah dari pihak manapun termasuk dari Ketua Pengadilan Negeri.
-
UU
Terorisme, penyadapan harus dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan
Negeri.
- UU
Narkotika, penyadapan dilakukan atas izin dari Ketua Pengadilan dan jika telah
dilakukan bisa minta persetujuan penyadapan.
- UU
Psikotropika, penyadapan dilakukan atas atas perintah tertulis Kapolri atau
pejabat yang ditunjuknya
Terlihat
“izin pengadilan c.q Ketua Pengadilan Negeri” menjadi titik pembeda, tetapi jika dikaitkan dengan “penyadapan”
merupakan bagian dari penyelidikan, penyidikan suatu tindak pidana maka
seharusnya penyadapan juga harus senada dan sejiwa dengan lembaga-lemabaga
hukum lain dalam penyelidikan dan penyidikan yakni penggeledahan dan penyitaan
yakni perlu adanya izin Pengadilan.
Sehingga
kalau ada wacana penyadapan harus ada izin pengadilan bukan merupakan barang
tabu dan bukan hal yang bertentangan dengan hukum bahkan praktek selama ini “izin
pengadilan” bukanlah sesuatu yang menghambat proses penanganan perkara (terutama
dengan adanya lembaga izin persetujuan telah dilakukan penyadapan) bahkan ijin
pengadilan mempunyai nilai lebih dan nilai positif yakni adanya lembaga penilai
dan penyeimbang antara kewenangan penyidik dan hak asasi manusia c.q orang yang
disadap.