A. Asas Pendampingan oleh Penasihat Hukum
Asas
dalam UU Kekuasaan Kehakiman adalah setiap orang yang tersangkut perkara berhak
memperoleh bantuan hukum[1]
(Pasal 56 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009) dan asas ini diatur ulang dalam Pasal 68B
ayat (1) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum. Salah satu bentuk konkrit dari memperoleh bantuan
hukum khususnya dalam perkara pidana adalah mendapat pendampingan dari Penasihat
Hukum[2],
dimana dalam semua tingkat pemeriksaan Tersangka/Terdakwa berhak didampingi
oleh Penasihat Hukum.
Pendampingan
Tersangka oleh Penasihat Hukum pada tingkat penyidikan dan penuntutan merupakan
hal baru karena baru diatur dalam KUHAP, hal ini sebagaimana dinyatakan dalam
penjelasan KUHAP sebagai berikut :
Meskipun Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 telah menetapkan bahwa hanya
ada satu hukum acara pidana yang berlaku untuk seluruh Indonesia, yaitu R.I.B,
akan tetapi ketentuan yang tercantum di dalamnya ternyata belum memberikan
jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, perlindungan terhadap
harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara
hukum. Khususnya mengenai bantuan hukum
di dalam pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum tidak diatur dalam R.I.B.
sedangkan mengenai hak pemberian ganti kerugian juga tidak terdapat
ketentuannya.
KUHAP
mengatur Tersangka berhak[3]
mendapatkan bantuan hukum dari Penasihat Hukumnya dan dalam hal tertentu
pendampingan tersebut merupakan hal yang diwajibkan.[4] Atas dasar tersebut maka dalam proses
penyidikan, KUHAP dalam Pasal 114 mengamanatkan dalam hal seorang disangka
melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik,
penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan
bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh Penasihat
Hukum.[5]
Bentuk
dari pendampingan Tersangka oleh Penasihat Hukum pada tingkat penyidikan seperti di atur Pasal 115 KUHAP yakni :
(1) Dalam hal penyidik sedang melakukan
pemeriksaan terhadap Tersangka, Penasihat Hukum dapat mengikuti jalannya
pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan.
(2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan
negara Penasihat Hukum dapat hadir dengan cara melihat tetapi tidak dapat
mendengar pemeriksaan terhadap Tersangka.
Menurut
Yahya Harahap[6] hak
mendapatkan bantuan hukum dalam pemeriksaan penyidikan adalah pasif. Berarti
seandainya pun Penasihat Hukum diperkenankan oleh pejabat penyidik mengikuti
jalannya pemeriksaan penyidikan, kedudukan dan kehadiran Penasihat Hukum mengikuti
tidak lebih sebagai ”penonton”. Kedudukan dan kehadirannya hanya terbatas
”melihat atau menyaksikan” dan ”mendengarkan” jalannya pemeriksaan (within sight and within hearing). Bahkan
kedudukan yang bersifat pasif tersebut dalam pemeriksaan penyidikan yang
bersangkut-paut dengan kejahatan terhadap keamanan negara, dikurangi lagi, Penasihat
Hukum dapat dan boleh mengikuti jalannya pemeriksaan, tapi tiada lebih daripada
hanya ”melihat” saja jalannya pemeriksaan. Penasihat Hukum tidak boleh mendengar
isi dan jalannya pemeriksaan (within
sight but not within hearing).
Meskipun
bersifat pasif tetapi karena pendampingan dari Penasihat Hukum adalah hak maka
pada setiap tingkat pemeriksaan harus diberitahukan dan diberikan jika haknya
tersebut akan digunakan oleh Tersangka, konsekuensinya jika setelah
diberitahukan ternyata Tersangka yang cakap hukum menyatakan berkeinginan untuk
didampingi oleh Penasihat Hukum yang dipilihnya sendiri maka hal tersebut tidak
boleh dihalang-halangi dan konsekuensi selanjutnya terdapat keadaan jika
setelah diberitahukan haknya ternyata Tersangka tidak menggunakan maka dianggap
melepaskan haknya untuk didampingi oleh Penasihat Hukum.
Dalam
praktek, pada tingkat penyidikan bentuk penolakan atau pelepasan hak untuk
didampingi oleh Penasihat Hukum berwujud Berita Acara Penolakan untuk
didampingi oleh Penasihat Hukum dan pada tingkat pemeriksaan di persidangan
terwujud dalam bentuk Terdakwa menyatakan dengan tegas di persidangan tidak
akan didampingi oleh Penasihat Hukum akan tetapi akan menghadap sendiri.
B. “Hak” Anak untuk mendapat Pendampingan Penasihat
Hukum
Secara
asas KUHAP tidak menyebutkan segi umur Tersangka/Terdakwa dalam menentukan
wajib tidaknya mendapat pendampingan oleh Penasihat Hukum, padahal anak[7]
sebagai pelaku tindak pidana memiliki kondisi khusus yang berbeda dengan pelaku
dewasa, oleh karenanya kemudian lahir UU Khusus yang menegaskan perlunya
bantuan hukum terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum.
UU
Perlindungan Anak (vide Pasal 17 ayat
1 UU No. 23 Tahun 2002) menyebutkan Setiap Anak yang dirampas kebebasannya
berhak untuk : b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c. membela diri dan
memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak
dalam sidang tertutup untuk umum.
Dalam UU
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 51 ayat (1) menyatakan Setiap Anak
Nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari
seorang atau lebih Penasihat Hukum, dimana dalam ayat (2) nya dinyatakan
Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada Tersangka
dan orang tua, wali, atau orang tua asuh, mengenai hak memperoleh bantuan hukum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Jika
dilihat ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut menyebut kualifikasi “saat
ditangkap, ditahan dan Tersangka”, hal tersebut menunjukkan aturan ini mengikat
pada saat proses penyidikan, artinya menurut UU Pengadilan Anak yang lama ini, dalam
tahap penyidikan jika seorang Anak ditangkap/ditahan terdapat kewajiban untuk
memberitahukan haknya untuk didampingi oleh Penasihat Hukum yakni selain kepada
Anak itu sendiri juga kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya. Meskipun tidak ada penjelasan lebih lanjut akan
tetapi dari aturan ini terlihat pembuat UU menginginkan adanya campur tangan
dari orang tua/wali/orang tua asuh Anak terhadap nasib Anak yang menjadi Tersangka,
artinya pula digunakan atau tidaknya hak tersebut harus melibatkan pihak anak/Tersangka
dan orang tua/walinya karena disadari Anak belumlah memiliki kehendak yang
penuh atas diri dan pribadinya.
Dengan
konstruksi pendampingan tersebut berbentuk “hak” dan “kewajibannya” hanya untuk
memberitahukan kepada anak/orang tuanya maka akibat hukumnya dapat berbentuk :
-
Setelah
diberitahu haknya, Anak atas sepengetahuan orang tuanya menggunakan Penasihat
Hukum;
-
Setelah
diberitahu haknya, Anak atas sepengetahuan orang tuanya tidak menggunakan Penasihat Hukum;
Artinya secara normatif UU Pengadilan Anak yang
lama ini memberikan peluang bagi Tersangka Anak untuk tidak menggunakan haknya
didampingi oleh Penasihat Hukum pada tingkat penyidikan dengan syarat hal itu
menjadi kehendak dari Anak yang diketahui oleh (baca: menjadi kehendak) orang
tua/walinya. Pendampingan Tersangka Anak
oleh Penasihat Hukum pada tingkat penyidikan bukan merupakan hal yang mutlak
dilakukan, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengapa pembuat undang-undang
membuat konstruksi demikian, apakah didasarkan atas pertimbangan hal tersebut
merupakan asas dalam KUHAP ataukah karena menganggap proses penyidikan
“hanyalah” proses pemeriksaan awal yang pada akhirnya proses tersebut dapat
diuji secara objektif diproses persidangan ataukah memang pembuat undang-undang
tidak menyadari adanya akibat hukum dari perumusan hak Anak tersebut
menimbulkan konsekuensi Tersangka Anak dapat diperiksa tanpa Penasihat Hukum.
Penafsiran
dan penggunaan dalam praktek jika Tersangka Anak dapat diperiksa tanpa
didampingi oleh Penasihat Hukum memiliki dasar pembenar karena dalam UU Pengadilan
Anak yang lama tidak terdapat norma penekan berupa ancaman batal demi hukum
jika pemeriksaan Tersangka Anak tersebut tidak didampingi oleh Penasihat Hukum,
terkecuali jika pendampingan tersebut merupakan hal yang diwajibkan menurut
KUHAP karena Tersangka disangka melakukan tindak pidana tertentu yang memenuhi
syarat Pasal 56 ayat (1) KUHAP.
Beragam
penafsiran atas ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 semakin terlihat
karena dalam praktek terdapat keadaan penyimpangan norma dalam bentuk pada
tingkat penyidikan hak Anak untuk didampingi oleh Penasihat Hukum ternyata tidak
diberitahukan kepada Anak dan atau orang tuanya atau diberitahukan kepada Anak tetapi tidak kepada
orang tuanya atau Anak menolak didampingi oleh Penasihat atas kehendaknya
sendiri tanpa persetujuan/sepengetahuan orang tua/walinya. Jika keadaan-keadaan tersebut terjadi maka
dalam UU No. 3 Tahun 1997 tidak terdapat aturan yang mengatur mengenai
implikasi yuridisnya.
Perkara
yang menggambarkan salah satu keadaan tersebut adalah kasus di PN Jakarta Pusat
dimana Hakim Tjokorda memeriksa Terdakwa Anak yang pada tingkat penyidikan
menandatangani surat penolakan untuk didampingi oleh Penasihat Hukum tanpa
melibatkan pihak orang tua/walinya.
Pada pertimbangan hukumnya, Tjokorda yang juga tercatat sebagai Hakim Pengadilan
Tipikor Jakarta itu, melihat Terdakwa DS adalah anak-anak. Umurnya baru 14
tahun. Secara hukum DS dianggap belum cakap hukum, sehingga dinilai belum bisa
melakukan perbuatan hukum seperti membuat surat kuasa atau dokumen hukum
lainnya. Faktanya, Hakim menemukan bukti dalam berita acara penyidikan
yang menunjukkan DS telah menandatangani surat pernyataan dan sebuah berita
acara. Dua dokumen itu isinya menyatakan bahwa DS secara sadar menolak
didampingi pengacara. Bagi Hakim, dua
surat itu tak sesuai hukum. Berdasarkan Pasal 1330 KUHPerdata, orang yang belum
dewasa tidak cakap membikin perjanjian.[8]
Dari
putusan tersebut terlihat meskipun dalam UU No. 3 Tahun 1997 tidak menyebutkan penyidikan
c.q. dakwaan batal demi hukum apabila
Anak tidak didampingi oleh Penasihat Hukum pada proses pemeriksaan, akan tetapi
Hakim dengan pertimbangannya menyatakan apabila tidak didampinginya Anak oleh Penasihat
Hukum dilakukan dengan tata cara yang tidak sesuai aturan maka hal tersebut
menyebabkan penyidikan tidak sah yang berkorelasi dakwaan batal demi hukum.[9]
Kemudian
per tanggal 30 Juli 2014, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku dengan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, dimana asas pendampingan Penasihat Hukum bagi Anak[10]
dapat diperbandingkan sebagai berikut :
1. Dalam UU No. 3 Tahun 1997 dinyatakan
bantuan hukum dari Penasihat Hukum merupakan hak setiap Anak Nakal sejak saat
ditangkap atau ditahan, sedangkan menurut UU No. 11 Tahun 2012 dalam Pasal 3 huruf c dinyatakan Setiap
Anak dalam proses peradilan pidana berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan
lain secara efektif. Jika dibaca secara
gramatikal maka kedua aturan tersebut mengkonstruksikan bantuan hukum merupakan
hak dari Anak.
2. Dalam UU No. 3 Tahun 1997 dinyatakan hak Anak mendapat
bantuan hukum wajib diberitahukan kepada Anak dan orang tuanya dan dalam UU No.
11 Tahun 2012 dinyatakan :
-
Pasal
23 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2012, dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib
diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau
pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Aturan ini mewajibkan adanya pemberian
bantuan hukum bagi Anak pada tingkat penyidikan, penuntutan dan persidangan;
-
Pasal
40 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2012, Pejabat yang melakukan penangkapan atau
penahanan wajib memberitahukan kepada Anak dan orangtua/Wali mengenai hak
memperoleh bantuan hukum. Dalam penjelasan pasalnya dinyatakan pemberitahuan
mengenai hak memperoleh bantuan hukum dilakukan secara tertulis, kecuali
apabila Anak dan orang tua/wali tidak dapat membaca, pemberitahuan dilakukan
secara lisan.
Persamaan
antara kedua undang-undang tersebut adalah menyebutkan adanya kewajiban untuk
memberitahukan kepada Anak dan orang tuanya/walinya mengenai hak memperoleh
bantuan hukum, dimana konstruksi ini membuka peluang bagi Anak dapat tidak
didampingi oleh Penasihat Hukum pada tingkat penyidikan. Akan tetapi terdapat norma berbeda dalam UU
No. 11 Tahun 2012, jika membaca Pasal 23 ayat (1) maka ternyata kewajiban itu
melekat tidak sebatas memberitahukan haknya tetapi memang Anak wajib mendapatkan
bantuan hukum dalam setiap pemeriksaannya.
Menimbulkan
pertanyaan, apakah Pasal 23 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2012 bermaksud agar semua Anak
yang berkonflik dengan hukum sejak tingkat penyidikan wajib didampingi oleh Penasihat
Hukum meskipun menurut KUHAP pendampingan itu berbentuk hak dan juga bersifat
pasif? Jika saja konstruksi Pasal 23
ayat (1) itu menyebutkan “dalam setiap tingkat pemeriksaan Anak wajib
didampingi oleh Penasihat Hukum”, maka artinya jelas pendampingan Penasihat
Hukum bagi Anak merupakan hal yang wajib, akan tetapi konstruksinya tidak
demikian, aturannya hanya menyebutkan “Anak wajib diberikan bantuan hukum”,
Penjelasan Pasalnya menyatakan cukup jelas, padahal norma ini berpotensi
menimbulkan ketidakjelasan.
Oleh karenanya
diperlukan penelaahan tentang maksud dari “diberikan bantuan hukum” menurut UU
No. 11 Tahun 2012, dimana dapat dijelaskan sebagai berikut :
-
Dalam
UU No. 11 Tahun 2012 tidak dijelaskan pengertian dari bantuan hukum, UU
tersebut hanya menyebutkan dalam Pasal 1 angka 19 pengertian dari Advokat[11] atau pemberi
bantuan hukum lainnya adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di
dalam maupun di luar pengadilan, yang memenuhi persyaratan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam
Penjelasan Pasal 18 UU No. 11 Tahun 2012, yang dimaksud dengan “pemberi bantuan
hukum lainnya” adalah paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum sesuai
dengan Undang-Undang tentang Bantuan Hukum.
-
Oleh
karena dalam Penjelasan Pasal 40 Ayat (1) UU No. 11 Tahun 2012 disebutkan ketentuan
bantuan hukum mengacu Undang-Undang tentang Bantuan Hukum, yang dimaksud adalah
UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, dalam Pasal 1 angka 1 jo angka 3 dijelaskan bantuan hukum adalah
jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada
Penerima Bantuan Hukum, dimana Pemberi Bantuan Hukum[12]
adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi
layanan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini.
Berdasar
hal di atas maka maksud dari wajib diberikan bantuan hukum adalah dalam bentuk
diberikan bantuan hukum oleh Advokat atau lembaga bantuan hukum atau organisasi
kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum, paralegal, dosen, dan
mahasiswa fakultas hukum. Dengan
demikian terjadi perluasan makna dari hak Anak mendapat bantuan hukum dari
semula hanya berbentuk mendapat pendampingan dari Penasihat Hukum menjadi mendapat
bantuan hukum dari Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, pendampingan
mana bersifat pasif, kedudukan dan kehadirannya hanya terbatas ”melihat atau
menyaksikan” dan ”mendengarkan” jalannya pemeriksaan.[13]
Perbedaan
selanjutnya dengan UU No. 3 Tahun 1997, dalam UU No. 11 tahun 2012 terdapat
aturan mengenai implikasi yuridis jika hak memperoleh bantuan hukum (vide Pasal 40 ayat 1) tersebut tidak
diberitahukan kepada Anak dan orang tua/wali yakni Dalam hal pejabat tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penangkapan atau
penahanan terhadap Anak batal demi hukum (vide
Pasal 40 ayat 2).
Aturan 40
ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 tersebut secara sekilas memperlihatkan aturan
yang tegas dan jelas, tetapi hal ini menimbulkan penafsiran terkait keabsahan
penyidikan perkara Anak tersebut yakni :
-
Penyidikan
tetap sah dan dapat dilanjutkan karena yang dinyatakan batal demi hukum “hanya”
penangkapan/penahanan Anak dan bukan proses penyidikan keseluruhan. Jika pembuat UU menginginkan keseluruhan
penyidikan tidak sah maka UU tersebut secara tegas menyebutkan “penyidikan”
menjadi batal demi hukum jika hak mendapat bantuan hukum tidak diberitahukan
kepada anak/orang tuanya.
-
Penyidikan
menjadi batal demi hukum, karena penangkapan/penahanan merupakan rangkaian dari
penyidikan dan lagipula dalam UU No. 11 Tahun 2012 bagian Penangkapan dan Penahanan masuk pada
bagian ketiga yang mengatur masalah penyidikan, maka maksud dari pembuat UU
adalah keseluruhan proses penyidikan menjadi batal demi hukum.
Konstruksi mana yang diakui akan terlihat dari putusan Pengadilan melalui
perkara yang konkit dan karena aturan UU No. 11 Tahun 2012 masih baru maka belum
ada putusan Pengadilan mengenai hal ini.
Dengan
demikian terkait dengan hak untuk
didampingi oleh Penasihat Hukum khusus pada tingkat penyidikan terhadap Tersangka
adalah :
-
Untuk
Tersangka yang sudah dewasa, hak tersebut harus diberitahukan kepadanya
sehingga jika setelah diberitahukan hak tersebut tidak dipergunakan oleh Tersangka
maka dimungkinkan pada tingkat penyidikan Tersangka tidak didampingi oleh Penasihat
Hukum.
-
Untuk
Tersangka anak, menurut UU No. 3 Tahun 1997, hak tersebut harus diberitahukan
kepada Anak dan orang tua/wali, sehingga jika setelah diberitahukan kepada Anak
dan orang tua/wali, hak tersebut tidak dipergunakan maka dimungkinkan pada
tingkat penyidikan Tersangka Anak tidak didampingi oleh Penasihat Hukum.
-
Untuk
Tersangka Anak menurut UU No. 11 Tahun 2012, hak tersebut harus diberitahukan
secara tertulis, kecuali apabila Anak dan orang tua/Wali tidak dapat membaca,
pemberitahuan dilakukan secara lisan, dimana oleh karena terdapat aturan Pasal 23
ayat (1) maka sejak tingkat penyidikan Anak wajib diberikan bantuan hukum dari
Advokat atau Pemberi Bantuan Hukum lainnya dan didampingi oleh Pembimbing
Kemasyarakatan atau pendamping lain.
Dengan
demikian terjadi pergeseran, jika KUHAP dan UU Pengadilan Anak yang lama
mengartikan bantuan hukum merupakan hak Anak sehingga dimungkinkan Anak menjalani
pemeriksaan tanpa didampingi oleh Penasihat Hukum, maka dengan UU Sisterm
Peradilan Pidana Anak menjadi suatu hal yang wajib bagi Anak mendapat bantuan
hukum, bantuan hukum mana bukan lagi domain mutlak dari Advokat tetapi juga
dapat diberikan oleh pemberi bantuan hukum lainnya.
C. Kewajiban Anak untuk mendapat Pendampingan
Penasihat Hukum
Khusus
pada tingkat penyidikan, KUHAP dan UU Pengadilan Anak yang lama memberikan
celah bagi Tersangka Anak dapat diperiksa tanpa didampingi oleh Penasihat Hukum
asalkan dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan syarat utamanya adalah
pendampingan tersebut bukan hal yang wajib,
artinya terdapat suatu situasi dan kondisi dimana Tersangka Anak tidak
hanya harus diberitahukan haknya untuk mendapat bantuan hukum tetapi juga memang
Tersangka/Anak tersebut harus atau wajib didampingi oleh Penasihat Hukum.
KUHAP (Pasal
56 ayat 1) mengatur tentang bantuan hukum yang wajib diberikan kepada seseorang
pada tingkat semua tingkatan pemeriksaan yakni :
1. Dalam hal Tersangka atau Terdakwa disangka
atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau
ancaman pidana lima belas tahun atau lebih;
2. Bagi mereka yang tidak mampu yang diancam
dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai Penasihat Hukum sendiri[14];
Tidak
seperti dalam konstruksi sebagai hak untuk mendapat bantuan hukum yang dapat
disimpangi atau tidak digunakan oleh Tersangka/Terdakwa maka dalam konstruksi
“kewajiban” maka tidak dimungkinkan adanya penolakan dari Tersangka/Terdakwa untuk
tidak didampingi oleh Penasihat Hukum, mau atau tidak, setuju atau tidak, Tersangka/Terdakwa
tersebut jika tidak memiliki Penasihat Hukum sendiri maka harus ditunjuk Penasihat
Hukumnya.
Artinya
pula terhadap Tersangka yang : (a) diancam dengan pidana mati; (b) diancam dengan
pidana lima belas tahun atau lebih; (c) tidak mampu dan diancam dengan pidana
lima tahun atau lebih tidak dimungkinkan adanya pembuatan berita acara
penolakan untuk didampingi oleh Penasihat Hukum. Akan tetapi dalam KUHAP tidak ada aturan yang
secara nyata dan tegas mengatur akibat hukum dari tidak dilaksanakannnya
ketentuan Pasal 56 ayat 1 KUHAP ini yakni menyebabkan penyidikan, penuntutan
atau persidangan menjadi batal demi hukum atau tidak.
Dalam
praktek peradilan terdapat putusan terkait dengan tidak dipenuhinya kewajiban
untuk didampingi oleh Penasihat Hukum yakni :
Salah satu yurisprudensi
terkait hal ini adalah Putusan No. 367 K/Pid/1998. Register perkara ini merujuk pada kasus
pembunuhan sadis La Makka, warga Dusun Tanatemparee, Palippu, Wajo Sulawesi
Selatan. Diduga pelakunya adalah La Noki bin La Kede, warga setempat yang tak
lain adalah saudara kandung korban. Pengadilan Negeri Wajo menghukum Terdakwa 12
tahun penjara lantaran terbukti melakukan pembunuhan berencana (Pasal 340
KUHP). Lantaran dihukum lebih berat dari tuntutan jaksa, Terdakwa La Noki
mengajukan banding. Namun, Pengadilan Tinggi Ujung Pandang menguatkan hukuman
semula, bahkan memerintahkan Terdakwa tetap dalam tahanan.
Nasib La Noki berubah seratus
delapan puluh derajat di tingkat kasasi. Majelis Hakim Agung beranggotakan H.
Kahardiman, H. Tjung Abdul Muthalib, dan H. Achmad Kowi membatalkan putusan banding.
Permohonan kasasi Jaksa dinyatakan tidak dapat diterima. Hakim memerintahkan La
Noki segera dibebaskan dari tahanan.
Dalam pertimbangannya, Majelis
Hakim Agung menyitir fakta yang terungkap bahwa selama tiga kali penyidikan di
Kepolisian dan satu kali di Kejaksaan, Terdakwa tak pernah didampingi Penasihat
Hukum. Walaupun di Pengadilan La Noki didampingi pengacara, Hakim Agung menilai
ada kesalahan dalam penyidikan. Tersangka yang tidak didampingi Penasihat Hukum
selama penyidikan, dinilai majelis bertentangan dengan Pasal 56 KUHAP, sehingga
Berita Acara Penyidik dan Penuntut Umum batal demi hukum.[15]
Ketentuan
dan putusan Pengadilan tersebut di atas berlaku terhadap Tersangka/Terdakwa pada
umumnya termasuk di dalamnya Anak. Akan
tetapi dengan lahirnya UU No. 3 Tahun 1997 yang dicabut dengan UU No. 11 Tahun
2012, aturan Pasal 56 ayat 1 KUHAP tersebut disimpangi asasnya yakni sebagai
berikut :
-
Menurut
UU No. 3 Tahun 1997 dinyatakan dalam perkara
Anak Nakal, Penuntut Umum, Penasihat Hukum, Pembimbing Kemasyarakatan, orang
tua, wali, atau orang tua asuh dan saksi, wajib hadir dalam Sidang Anak (vide Pasal 55). Setelah Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk
umum, Terdakwa dipanggil masuk beserta orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat
Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan. Selama dalam persidangan, Terdakwa didampingi
orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing
Kemasyarakatan (vide Pasal 57 ayat 1
dan 2).
Dari ketentuan
di atas memperlihatkan dalam setiap perkara Anak yang diajukan ke persidangan dengan
dakwaan apapun wajib dihadiri oleh Penasihat Hukum, akan tetapi tidak
terpenuhinya kewajiban tersebut dalam UU No. 3 Tahun 1997 tidak diatur akibat hukumnya.
-
Menurut UU No.
11 Tahun 2012 dinyatakan dalam Pasal 55 yakni :
(1) Dalam sidang Anak, Hakim wajib memerintahkan
orang tua/Wali atau pendamping[16],
Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan untuk
mendampingi Anak.
(2) Dalam hal orang tua/Wali dan/atau pendamping
tidak hadir, sidang tetap dilanjutkan dengan didampingi Advokat atau pemberi
bantuan hukum lainnya dan/atau Pembimbing Kemasyarakatan.
Persamaan
UU No. 3 Tahun 1997 dan UU No. 11 Tahun 2012 di atas memberikan kewajiban
kepada Hakim untuk memerintahkan (baca : menunjuk) Penasihat Hukum/Advokat atau
pemberi bantuan hukum lainnya untuk mendampingi Anak yang diajukan ke
persidangan tanpa mensyaratkan Anak harus didakwa dengan Pasal yang memuat
ancaman pidana tertentu, artinya kewajiban tersebut melekat bukan dilihat dari lama
ancaman pidananya atau mampu tidaknya Terdakwa (asas Pasal 56 ayat 1 KUHAP)
akan tetapi melekat pada subjek hukumnya yakni seorang anak. Jika Anak menjadi Terdakwa
di persidangan wajib didampingi oleh Penasihat Hukum, apabila tidak memiliki Penasihat
Hukum sendiri maka wajib ditunjuk Penasihat Hukumnya oleh Hakim.
Akan
tetapi terdapat konstruksi baru mengenai bantuan hukum bagi Anak pada tingkat
persidangan menurut UU No. 11 Tahun 2012 yakni :
-
Jika
dalam UU No. 3 Tahun 1997 orang tua/wali dan Penasihat Hukum wajib hadir maka
menurut UU No. 11 Tahun 2012 kewajiban itu melekat pada Hakim untuk
memerintahkan orang tua/wali, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya untuk
mendampingi Anak di persidangan.
-
Jika
dalam UU No. 3 Tahun 1997 tidak diatur mengenai konsekuensi jika orang tua/wali
dan Penasihat Hukum yang wajib hadir tersebut ternyata tidak hadir di
persidangan, dalam UU No. 11 Tahun 2012 diatur karena kewajiban itu melekat
pada Hakim maka jika setelah diperintahkan oleh Hakim ternyata orang tua/Wali
dan/atau pendamping tidak hadir maka sidang tetap dilanjutkan dengan didampingi
Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya.
Oleh karena UU No. 11 Tahun 2012 menyebutkan “jika saat persidangan orang tua/Wali tidak
hadir maka sidang tetap dilanjutkan
dengan didampingi Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya”, maka berarti
kehadiran Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya adalah mutlak, tidak dapat
disimpangi, apabila Terdakwa Anak tidak didampingi oleh Penasihat Hukum yang
ditunjuk oleh Anak/keluarganya maka Hakim harus menunjuk Advokat/Pemberi
Bantuan Hukum lainnya untuk mendampingi Terdakwa Anak.
Kemutlakan Terdakwa Anak harus didampingi oleh Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya
karena terdapat ketentuan Pasal 55 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 yang
menyatakan : Dalam hal Hakim tidak melaksanakan ketentuan “Dalam hal orang
tua/Wali dan/atau pendamping tidak hadir, sidang tetap dilanjutkan dengan
didampingi Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan/atau Pembimbing
Kemasyarakatan”, sidang Anak batal demi hukum.
Artinya dengan UU Sistem Peradilan Pidana Anak, sidang Anak tetap berjalan
dan sidang tidak menjadi batal demi hukum, jika Anak tidak didampingi oleh
orang tua/wali yang tidak mau mendampingi anaknya, dan sebaliknya sidang Anak tidak
dapat dilanjutkan dan berakibat batal demi hukum jika tidak didampingi oleh Advokat
atau pemberi bantuan hukum lainnya, hal ini menunjukkan sekali lagi kehadiran
dan atau penunjukkan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya bagi Terdakwa Anak
adalah suatu hal mutlak dan wajib dilakukan oleh Hakim.
Dengan
demikian secara normatif sebenarnya UU No. 11 Tahun 2012 telah menutup celah
dan menutup peluang bagi Hakim/Majelis Hakim untuk memeriksa perkara Anak yang
tidak didampingi oleh Penasihat Hukum.
D. Kesimpulan
1. KUHAP dan UU Pengadilan Anak yang lama (UU
No. 3 Tahun 1997) memberikan celah/kemungkinan Tersangka Anak pada tingkat
penyidikan tidak menggunakan haknya untuk didampingi oleh Penasihat Hukum.
2. UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU No. 11
Tahun 2012), salah satu aturannya menyebutkan memperoleh bantuan hukum pada
tingkat penyidikan merupakan hak Anak dan wajib diberitahukan secara tertulis
hak tersebut kepada Anak dan orangtuangnya/wali (Pasal 3 huruf c dan Pasal 40
ayat 1) akan tetapi aturan lain menyebutkan dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak
wajib diberikan bantuan hukum dari Advokat dan pemberi bantuan hukum lainnya (Pasal
23 ayat 1).
3. KUHAP mewajibkan pendampingan Penasihat
Hukum dengan melihat jenis dan lamanya pidana yang diancamkan kepada Tersangka/Terdakwa
dan mampu tidaknya Tersangka/Terdakwa sedangkan UU Sistem Peradilan Pidana Anak
mewajibkan pendampingan Penasihat Hukum dengan melihat subjek pelakunya yakni
anak, artinya semua Anak yang berkonflik dengan hukum dengan dakwaan apapun
wajib didampingi oleh Advokat atau Pemberi Bantuan Hukum lainnya, dengan akibat
sidang Anak menjadi batal demi hukum jika hal tersebut tidak dipenuhi.
4. UU No. 11 Tahun 2012 telah menutup celah
bagi Hakim/Majelis Hakim untuk memeriksa perkara Terdakwa Anak yang di
persidangan tidak didampingi oleh Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya
E. Saran
Analisa dan simpulan di atas merupakan pendapat
pribadi Penulis didasarkan atas analisa sederhana dari beberapa aturan
tertulis, karenanya kebenarannya masih sumiir. Akan tetapi sediki banyak dari analisa di
atas menunjukkan diperlukan lagi norma penjelasan atas aturan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak mengenai pendampingan dari Advokat/Pemberi Bantuan Hukum
lainnya bagi Anak yang berkonflik dengan hukum pada tingkat penyidikan,
penuntutan dan persidangan, terutama mengenai SOP, bentuk dan tata cara
pendampingan serta pernyataan tegas mengenai wajib tidaknya pendampingan
tersebut diberikan kepada Anak pada setiap tingkat pemeriksaan dengan implikasi
hukum yang jelas pula jika hal tersebut dilanggar.
[1] Penjelasan
Pasal 56 Ayat (1), bantuan hukum adalah pemberian jasa hukum (secara cuma-cuma)
yang meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili,
mendampingi, membela, melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari
keadilan (yang tidak mampu).
[2] Pasal
1 angka 13 UU KUHAP menyatakan Penasihat
Hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar
undang-undang untuk memberi bantuan hukum.
[3] Pasal
54 jo Pasal 55 KUHAP mengatur guna
kepentingan pembelaan, Tersangka atau Terdakwa berhak mendapat bantuan hukum
dari seorang atau lebih Penasihat Hukum dan untuk mendapatkan Penasihat Hukum, Tersangka
atau Terdakwa berhak memilih sendiri Penasihat Hukumnya.
[4] Pasal
56 ayat (1) KUHAP mengatur dalam hal Tersangka atau Terdakwa disangka atau
didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman
pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang
diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai Penasihat
Hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan wajib menunjuk Penasihat Hukum bagi mereka.
[5] Penjelasan
Pasal 114 KUHAP menyatakan untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka
sejak dalam taraf penyidikan kepada Tersangka sudah dijelaskan bahwa Tersangka
berhak didampingi Penasihat Hukum pada pemeriksaan di sidang pengadilan.
[6] Yahya
Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan
Penerapan Kuhap Penyidikan dan Penuntutan, Penerbit Sinar Grafika, Edisi
Kedua, Cetakan Kesepuluh, Jakarta, 2008, hlm 334.
[7] Pasal
1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
[8] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4dcac4e944fc9/penyidikan-tidak-sah-hakim-batalkan-dakwaan, diakses tanggal 26 Mei 2014).
[9] Terdapat
pandangan yang berbeda terkait hal ini yakni oleh karena dalam UU Pengadlan
Anak tidak mengatur secara tegas dakwaan menjadi batal demi hukum jika
tersangka anak tidak didampingi penasihat hukum dan lagipula yang menjadi bukti
yang sah menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP adalah keterangan Terdakwa di
persidangan bukan keterangan Terdakwa pada tingkat penyidikan maka jika
Terdakwa Anak pada saat menjadi tersangka dimintai keterangan dengan tidak
didampingi oleh penasihat hukum maka hal tersebut dapat dijadikan alasan dan
dijadikan dasar untuk pencabutan keterangannya pada tingkat penyidikan, dengan
demikian keterangan Tersangka Anak pada tingkat penyidikan berupa BAP Tersangka
dikesampingkan.
[10]Menurut
Pasal 1 angka 3 UU No.11 Tahun 2012, Anak
yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang
telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Penjelasan Pasal 20 UU No. 11 Tahun 2012 menyatakan
Anak yang sudah kawin dan belum berumur 18 (delapan belas) tahun tetap
diberikan hak dan kewajiban keperdataan sebagai orang dewasa.
[11] Menurut
Pasal 1 angka 1 angka 1 jo angka 2 UU
No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, advokat adalah orang yang berprofesi memberi
jasa hukum, berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan
kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk
kepentingan hukum klien, baik di dalam maupun di luar Pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
[12]UU
No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dalam Pasal 8 ayat (1) Pelaksanaan
Bantuan Hukum dilakukan oleh Pemberi Bantuan Hukum yang telah memenuhi syarat
berdasarkan Undang-Undang ini. Ayat (2) Syarat-syarat Pemberi Bantuan Hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. berbadan hukum;
b. terakreditasi berdasarkan Undang-Undang ini;
c. memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
d. memiliki pengurus; dan
e. memiliki program Bantuan Hukum.
[13]Oleh
karena dalam UU No. 11 Tahun 2012 tidak diatur mengenai bentuk konkrit
pendampingan dari Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya pada saat
pemeriksaan tersangka pada tingkat penyidikan maka aturan umum dalam KUHAP (vide Pasal 115 ayat (1) KUHAP) jika Penasihat Hukum
bersifat pasif berlaku.
[14]Penjelasan
Pasal 56 ayat (1) KUHAP, Menyadari asas peradilan yang wajib dilaksanakan
secara sederhana, cepat dan dengan biaya ringan serta dengan pertimbangan bahwa
mereka yang diancam dengan pidana kurang dari lima tahun tidak dikenakan
penahanan kecuali tindak pidana tersebut dalam pasal 21 ayat (4) huruf b, maka
untuk itu bagi mereka yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih, tetapi
kurang dari lima belas tahun, penunjukan penasihat hukumnya disesuaikan dengan
perkembangan dan keadaan tersedianya tenaga penasihat hukum di tempat itu.
[15]http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18401/menunggu-imiranda-rulesi-di-ruang-penyidikan, diakse pada tanggal 26 Mei 2014.
[16]Penjelasan
Pasal 55 ayat (1) menyatakan “Meskipun pada prinsipnya tindak pidana merupakan
tanggung jawab Anak sendiri, tetapi karena dalam hal ini terdakwanya adalah
Anak, Anak tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran orang tua/Wali”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar