Kamis, 04 September 2014

Dapatkah putusan akhir berisi pembatalan dakwaan?

(Kajian tentang kewenangan ex officio Hakim dalam menyatakan ketidakwenangan mengadili, pembatalan dan tidak dapat diterimanya suatu dakwaan)





GAMBARAN MASALAH.

Sebagaimana diketahui, prosedur setelah dakwaan dibacakan, Hakim menanyakan kepada terdakwa mengenai dakwaan tersebut (Pasal 155 ayat 2 huruf b KUHAP), kemudian terdakwa/PH-nya dapat mengajukan keberatan atas dakwaan dalam bentuk “pengadilan tidak berwenang mengadili” atau “dakwaan tidak dapat diterima” atau “surat dakwaan harus dibatalkan” (Pasal 156 ayat 1). Artinya keberatan-keberatan tersebut harus diajukan oleh terdakwa di sidang setelah dakwaan dibacakan.

Kemudian setelah mendengar pendapat Penuntut Umum, Hakim harus mempertimbangkan keberatan untuk selanjutnya mengambil “keputusan” (redaksional Pasal 156 ayat 1). “Keputusan” atas keberatan tersebut dapat berakibat :

  • Perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, jika keberatan “diterima";
  • Sidang dilanjutkan, jika keberatan “tidak diterima” atau Hakim berpendapat “HAL TERSEBUT BARU DAPAT DIPUTUS SETELAH SELESAI PEMERIKSAAN” (Vide Pasal 156 ayat 2 KUHAP).

Meskipun KUHAP menamakannya sebagai “keputusan”, praktek membacanya sebagai “putusan/putusan sela” karena senyatanya Hakim tidak memproduksi “keputusan” tapi “putusan”, tapi ada juga yang berpandangan dibuat dalam bentuk “penetapan”.

Alur penanganan perkara seperti digambarkan di atas adalah hal yang lazim dan biasa terjadi, akan tetapi, lain penyelesaiannya ketika muncul bentuk perkara :

Terdakwa tidak mengajukan eksepsi/keberatan atas dakwaan, kemudian saat/setelah memeriksa alat bukti, Hakim menemukan ketidakberesan dakwaan yang dapat membatalkan dakwaan atau membuat dakwaan tidak dapat diterima, masalahnya BISAKAH HAKIM secara ex officio membuat putusan pembatalan/putusan N.O. atas dakwaan tersebut ?

 BAGIAN PERTAMA : KETIDAKWENANGAN MENGADILI.
Menjadi hal yang mudah dijawab, jika saja ketidakberesan dakwaan tersebut dalam bentuk “ketidakwenangan pengadilan”, karena sesuai dengan Pasal 156 ayat (7) KUHAP “Hakim ketua sidang karena jabatannya “walaupun tidak ada perlawanan”, “setelah mendengar pendapat penuntut umum dan terdakwa” dengan “surat penetapan” yang memuat alasannya dapat menyatakan pengadilan tidak berwenang”. Artinya jika Hakim menemukan ketidakbenaran dakwaan yang berakibat tidak berwenangnya pengadilan maka Hakim secara ex officio dapat memutuskannya.

Misalnya : pada saat dakwaan dibacakan tidak ada keberatan dari terdakwa mengenai locus delicti tindak pidananya, akan tetapi setelah memeriksa alat bukti : saksi, ahli, surat, terdakwa, ternyata locus delictinya terjadi diluar yuridiksi pengadilan yang memeriksa, maka Hakim dapat menyatakan tidak berwenang mengadili perkara tersebut meski tidak ada eksepsi.

Pertanyaannya : bagaimana prosedurnya dan kapan Hakim dapat menyatakan hal tersebut ? Setelah pengajuan tuntutan atau sebelum pengajuan tuntutan ?

Karena dalam rumusan Pasal 156 ayat 7 KUHAP terdapat frasa “..setelah mendengar pendapat penuntut umum dan terdakwa..”, maka gambaran prosedur yang sebenarnya harus dilakukan adalah :

  1. Langkah pertama : jika pada saat atau setelah melakukan pemeriksaan alat bukti ditemukan ada permasalahan dakwaan mengenai kompetensi (absolut/relatif), maka karena jabatannya Hakim harus menyatakan adanya “ketidakwenangan mengadili” dipersidangan ;
  2. Langkah Kedua : Atas pernyataan Hakim tersebut, Penuntut Umum memberikan Pendapat yang dilanjutkan pendapat dari terdakwa.
  3. Langkah Ketiga : Jika setelah mendengar pendapat tersebut, Hakim tetap menemukan ketidakwenangan pengadilan, maka Hakim dapat menyatakan tidak berwenang mengadili dan dibuat dalam bentuk :

  • PENETAPAN, menurut Pasal 157 ayat 7 KUHAP dan bentuknya sama dengan kewenangan Ketua Pengadilan untuk menyatakan tidak berwenang mengadili sebelum perkara disidangkan yakni dibuat dalam bentuk PENETAPAN (vide Pasal 148 dan Pasal 149 KUHAP).
  • PUTUSAN, praktek pengadilan, oleh karena pemeriksaan perkara sudah dilakukan maka ketidakwenangan mengadili dibuat dalam bentuk putusan.

Jadi sebenarnya KUHAP memberikan arahan, Hakim jangan langsung “memutuskan/menetapkan” dirinya tidak berwenang mengadili TAPI harus mendengar terlebih dahulu pendapat Penuntut Umum dan terdakwa.

Mengenai kapan ketidakwenangan itu dapat “diputuskan/ditetapkan” pastinya adalah setelah Hakim menemukan masalah ketidakwenangan tersebut, kapanpun itu, jika ketidakberesan dakwaan itu diketahui setelah memeriksa alat bukti maka ketidakwenangan harus “diputuskan/ditetapkan” setelahnya itu. Tidak perlu Hakim menunggu pengajuan tuntutan pidana baru kemudian “memutuskan/menetapkan” ketidakwenangannya.

Penekanannya adalah KETIDAKWENANGAN HARUS “DIPUTUSKAN/DITETAPKAN” SEBELUM ADANYA PENGAJUAN TUNTUTAN PIDANA, hal ini untuk menjaga jangan sampai terdakwa dituntut dua kali dalam perkara yang sama. Contoh imajinernya adalah: Hakim PN A setelah memeriksa alat bukti menyadari tidak berwenang mengadili perkara terdakwa dan yang berwenang adalah PN B, tetapi Hakim di PN A menyatakan ketidakwenangannya tersebut setelah menerima pengajuan tuntutan artinya di PN A terdakwa telah dituntut pidana untuk perkaranya (misalnya 1 tahun), kemudian karena perkara terdakwa dilimpahkan ke PN B maka dipastikan di PN B tersebut terdakwa juga mendapat tuntutan pidana (misalnya 2 tahun), artinya terdakwa dituntut dua kali untuk perkara yang sama.

Sehingga untuk mencegah hal ini, KETIDAKWENANGAN harus diputuskan/ditetapkan SEBELUM pengajuan TUNTUTAN, lagi pula ada konstruksi hukum Pasal 156 ayat (2) jo Pasal 182 ayat (1) huruf 1 a KUHAP, yang akan dijelaskan pada BAGIAN KEDUA dibawah ini.

BAGIAN KEDUA : BATAL ATAU TIDAK DAPAT DITERIMANYA DAKWAAN.
Hakim setelah memeriksa alat bukti ternyata menemukan dakwaan tersebut batal atau harus di N.O, langkah apa yang bisa diambil oleh Hakim ? memutuskannya dalam putusan “akhir”?? Bukankah KUHAP mengatur putusan akhir itu hanya dalam bentuk putusan pemidanaan dan putusan bukan pemidanaan (bebas dan lepas dari tuntutan hukum), sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 11 jis Pasal 194 ayat (1), Pasal 199 ayat (1) huruf b, Pasal 222 ayat (1) KUHAP ?

KUHAP tidak mengaturnya secara tegas, akan tetapi jika membaca Pasal 156 ayat (2) yakni “…….. sebaliknya dalam hal tidak diterima atau HAKIM BERPENDAPAT HAL TERSEBUT BARU DAPAT DIPUTUS SETELAH SELESAI PEMERIKSAAN, maka sidang dilanjutkan”.

Penekanannya dalam “baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan”, artinya
KUHAP memberikan sarana yuridis bagi HAKIM UNTUK MEMUTUSKAN BATAL HUKUM TIDAKNYA SUATU DAKWAAN SETELAH PEMERIKSAAN SELESAI, hal yang sama juga berlaku jika dakwaan tidak dapat diterima.

Pertanyaannya “KAPAN SUATU PEMERIKSAAN DINYATAKAN SELESAI?”

Membaca aturan Pasal 182 ayat (1) huruf 1 a KUHAP yang menyatakan “Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana”. Arti pemeriksaan selesai adalah setelah proses pemeriksaan alat bukti, sebelum pengajuan tuntutan pidana. Sedangkan jika telah ada pengajuan tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan, KUHAP menamakannya dengan “pemeriksaan dinyatakan ditutup” (Vide Pasal 182 ayat 2 KUHAP).

Dengan demikian, Penulis berpandangan setelah Pemeriksaan dinyatakan selesai, HAKIM masih dapat memutus BATAL/TIDAK DAPAT DITERIMANYA SUATU DAKWAAN tetapi Pasal 156 ayat 2 jo Pasal 182 ayat 2 KUHAP mensyaratkannya dilakukan sebelum PENGAJUAN TUNTUTAN.

Akan tetapi masalahnya ruang lingkup Pasal 156 KUHAP terkait keberatan/eksepsi dari terdakwa artinya hal di atas dapat dilakukan JIKA SEBELUMNYA ada KEBERATAN/EKSEPSI dari TERDAKWA. Jika sebelumnya tidak ada keberatan dari terdakwa mengenai hal tersebut?? … bagaimana penyelesaiannya?

Penyelesaiannya berpulang kepada PENAFSIRAN KITA SEBAGAI HAKIM, MAU menganalogikan ketentuan Pasal 156 ayat (2) KUHAP ini berlaku meskipun TIDAK ADA KEBERATAN SEBELUMNYA dari terdakwa sebelumnya atau TIDAK?, karena ingat.. HAKIM hanya diberikan kewenangan memutus secara ex officio (meskipun TANPA ADA keberatan dari terdakwa), hanya dalam hal menyatakan PENGADILAN tidak berwenang (Pasal 156 ayat 7).

Akan tetapi dengan melihat praktek peradilan tentang aturan hukum acara, contoh tentang berwenangnya Jaksa mengajukan PK padahal menurut Pasal 263 ayat (1) KUHAP tegas mengatur yang dapat mengajukan PK hanya terpidana atau ahli warisnya, MENUNJUKKAN aturan hukum acara bukanlah sesuatu yang statis, dihubungkan pula dengan asas keadilan dan kemanfaatan, terasa sungguh tidak adil dan tidak bermanfaat jika HAKIM TERBELENGU untuk tidak bisa BERBUAT APA-APA jika saat/setelah memeriksa alat bukti menemukan indikasi dakwaan kabur/dakwaan batal demi hukum atau dakwaan tidak dapat diterima.

Artinya, ada tidaknya keberatan sebelumnya dari terdakwa, bukanlah merupakan suatu BELENGGU bagi Hakim untuk “BERBUAT” ketika menemukan “ketidakberesan dakwaan” (batal/tidak dapat diterima) setelah memeriksa alat bukti.

Dimana sebelum memutuskan dakwaan batal demi hukum/Dakwaan di N.O., sebaiknya mengikuti prosedur ex officio Hakim dalam menyatakan ketidakwenangan mengadili, yakni :

  • Langkah pertama : Jika pada saat atau setelah melakukan pemeriksaan alat bukti (sebelum pengajuan tuntutan) ditemukan indikasi dakwaan batal/Dakwaan di N.O, maka Hakim harus menyatakannya dipersidangan ;
  • Langkah Kedua : Atas pernyataan Hakim tersebut, kemudian Penuntut Umum memberikan Pendapat yang dilanjutkan pendapat dari terdakwa.
  • Langkah Ketiga : Jika setelah mendengar pendapat tersebut, Hakim tetap memandang dakwaan batal demi hukum/Dakwaan di N.O, maka Hakim dapat membuat putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum/Dakwaan di N.O.

KESIMPULAN.
Sebagai suatu kesimpulan, Penulis untuk sementara condong ke konstruksi:

  1. Dalam hal tidak ada keberatan dari terdakwa tetapi selama proses persidangan Hakim menganggap tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut (absolut/relatif) maka Hakim secara ex officio harus menyatakan tidak berwenang dan hal ini HARUS dilakukan sebelum adanya pengajuan TUNTUTAN (Dasar Hukum : Pasal 156 ayat 7 jo. Pasal 182 ayat (1) huruf 1 a KUHAP).
  2. Jika ada keberatan maupun tidak ada keberatan sebelumnya, HAKIM dapat memutus batal/tidak dapat diterimanya suatu dakwaan setelah pemeriksaan dinyatakan selesai / sebelum TUNTUTAN diajukan (Dasar Hukum : Pasal 156 ayat (2), jo Pasal 182 ayat (1) huruf 1 a KUHAP).
  3. Sebelum memutuskan KEDUA HAL di atas, Hakim harus mendengar pendapat dari Penuntut Umum dan Terdakwa.

Dari 3 kesimpulan tersebut, Penulis menyarikan adanya KAIDAH UMUM berbentuk:

Putusan/penetapan tentang ketidakwenangan mengadili atau dakwaan tidak dapat diterima atau dakwaan Batal Demi hukum, dapat dijatuhkan oleh Hakim pada 2 (dua) waktu yakni SEBELUM pemeriksaan alat bukti dan SETELAH pemeriksaan alat bukti selesai.

Konstruksi kesimpulan angka 2 dan KAIDAH UMUM di atas masih menimbulkan pertanyaan .. bagaimana jika telah ada tuntutan pidana (pemeriksaan telah ditutup).. itu merupakan KELALAIAN Hakim dalam menerapkan hukum acara … atukah masihkah Hakim diberikan ruang untuk membatalkan/meng-NO-kan dakwaan? … mari kita renungkan bersama-sama …. Tapi salah satu “kunci” untuk menemukan ruang adalah dengan melihat konsekuensi yuridis dari dakwaan yang tidak dapat diterima dan dari dakwaan yang batal demi hukum, dikaitkan dengan asas ne bis in idem ….


1 komentar:

  1. mantap pk guse, saya tanya nih, ada suatu penetapan ganti nama yang kemudian digugat untuk dibatalkan, dapat enggak dibatalkan oleh peradilan tingkat pertama

    BalasHapus

Pra Peradilan dan Permasalahannya

Catatan tentang Istilah,  Biaya Perkara,  Materi dan Acara Pemeriksaan   Praperadilan A. Istilah  Permasalahan pertama yang terlihat se...